Connect with us

Opini

Tragedi Umar dan Nihilisme Orang-Orang Kalah

Published

on

Oleh: Helmi Hidayat

Khalifah Umar bin Khattab datang ke masjid Nabawi Rabu pagi ketika Matahari belum bangun tidur, 25 Dzulhijjah 23 H (644 M), tanpa tahu bahwa hari kelam itu akan dicatat oleh sejarah dengan tinta merah. Usai mengatur jemaah salat dengan tongkatnya, Umar maju ke mihrab untuk memimpin salat. Tapi, baru saja ia bertakbir, seorang lelaki menghambur dari barisan makmum menuju mihrab, lalu berdiri berhadap-hadapan dengan Umar. Ia menghunjamkan belati di tangannya enam kali berturut-turut ke dada dan perut Umar, hingga lelaki tinggi besar itu tersungkur ke atas sajadah bersimbah darah.

Dengan belati maut di tangannya lelaki penusuk Umar itu langsung kabur. Ketika jemaah mengepungnya, ia kalap lalu membabi buta membabat siapa saja yang berusaha membekuknya. Sedikitnya 12 orang kena tusuk, sembilan di antara mereka tewas. Dalam kondisi terdesak, lelaki yang kemudian dikenal sebagai Abu Lu’lu’ah Fairuz itu menikam dirinya sendirinya hingga tewas di tempat. Sejarah mencatat, ia adalah bekas tentara Persia yang ditangkap lalu dijadikan budak oleh Mughirah bin Syu’bah di Madinah. Ia menaruh dendam kesumat kepada Umar yang telah menaklukkan Kerajaan Persia dan berhasil membunuh jenderal kebanggaan mereka, Rustam Farrukhzad.

Mengapa Abu Lu’lu’ah Fairuz tidak membawa Umar ke pengadilan saja jika ia tak bisa menerima kekaisaran Persia ditaklukkan pasukan Islam? Bukankah Umar selama ini dikenal sebagai pemimpin yang taat peraturan, menghormati hukum, tidak diktator, seperti yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW dan pendahulunya, Abu Bakar Ash-Shiddiq?

Tidak. Abu Lu’lu’ah Fairuz tidak akan melakukan itu. Ia adalah contoh orang yang merasa dirinya kalah,terpinggirkan, dan tak mampu berbuat apa-apa di tengah hegemoni di luar dirinya. Negerinya ditaklukkan, jenderal kebanggannya dibunuh, banyak tentara Persia ditangkap, apa lagi yang tak membuat Abu Lu’lu’ah frustrasi? Lalu dia lihat tentara Islam di masa Umar terus meraih kemenangan menaklukkan Mesopotamia, Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara, bahkan merebut Armenia dari tangan Romawi. Tentara Islam saat itu adalah algojo-algojo mematikan. Pada pertempuran Yarmuk di Damaskus, 20.000 tentara Islam menaklukkan 70.000 tentara Romawi dan itu terjadi di era Umar!

Dalam kondisi merasa kalah dan di hadapannya berdiri tembok raksasa yang tak mungkin dirobohkan, hanya satu yang terjadi pada diri Abu Lu’lu’ah: NIHILISME.

Nihilisme adalah perasaan putus asa dalam diri seseorang akibat kenyataan pahit di sekelilingnya yang dengan itu ia beranggapan tak ada lagi harapan untuk menegakkan norma, aturan, atau hukum apa pun kecuali keyakinan dalam dirinya. Seorang nihilis biasanya cenderung pendek pikiran dan melakukan apa saja yang ia yakini benar asal situasi tak mengenakkan di hadapannya bisa diubah dengan cepat dan ia merasa menang. Inilah yang dilakukan Abu Lu’lu’ah ketika membunuh Umar lalu membunuh dirinya sendiri, bukan membawa Umar ke pengadilan atas persoalan yang ia hadapi.

Di era modern saat ini, salah satu motivasi seseorang menjadi jihadis Islam, radikal, dan bahkan melakukan terorisme ternyata adalah ‘’nihilist motivation’’ ini. Nihilisme membuat orang kalap, berpikiran pendek, bahkan tak lagi percaya lagi norma dan hukum yang berlaku, termasuk tak lagi percaya pada lembaga pengadilan. Kesimpulan ini disampaikan oleh Prof. Dr. Brigitte Marechal, yang Rabu (15/5) lalu memberi kuliah dalam International Lecture on Jihadist Islamic Activism di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya kebetulan diminta menjadi moderator dalam acara itu.

Guru besar sosiologi Universite Catholique de Louvain (Belgium) itu berbicara selama dua jam di depan sekitar 40 dosen FIDIK tentang faktor-faktor sosial-antropologis yang melatarbelakangi lahirnya kelompok jihadis dan radikalis dalam Islam di Eropa Barat umumnya, dan di Belgia khususnya. Maklum, kata Marechal, ajaran Salafy asal Saudi Arabia, Timur Tengah, masuk ke Belgia sejak 1960 lewat jalur dakwah dan proses perpindahan penduduk dalam skala kecil, lalu memainkan peran penting bagi merebaknya gerakan jihadis Islam di Belgia. Penduduk Belgia kini lebih dari 11 juta orang pada 1 Januari 2015. Dari jumlah itu, sekitar 700.000 orang adalah Muslim yang berakar atau berhijrah dari Syria akibat perang saudara berkepanjangan.

Menurut Marechal, selain ‘’nihilist motivation’’, ada lima motivasi lain yang membuat seorang pemeluk Islam cenderung menjadi jihadis dan radikal. Motivasi pertama ia sebut sebagai ”altruist motivation”, yakni motivasi yang didorong oleh perhatian yang besar dari seseorang terhadap kesejahteraan orang lain tanpa mempedulikan diri sendiri. Altruisme sangat populer dalam banyak budaya dan sejumlah agama karena ia mengajarkan antiegoisme. ‘’Ketika seseorang berpendapat bahwa semua orang harus masuk surga, ia sesungguhnya punya potensi menjadi seorang jihadis jika keyakinannya itu dipupuk. Apa yang orang lain pandang jelek pun, misalnya melakukan terorisme, dengan ringan ia lakukan asal dengan tindakannya itu dia yakin semua orang masuk surga.’’

Untuk menjadi pahlawan adalah motivasi ketiga dalam pandangan Marechal mengapa seorang Muslim memilih jadi seorang jihadis. Semangat ”heroic motivation” ini biasanya dipompakan secara sistematis untuk kalangan terbatas dalam sebuah training tertentu guna melahirkan pahlawan-pahlawan baru yang siap mati syahid demi perubahan sosial. Motivasi keempat adalah ”need for adventure and freedom”. Dalam penelitiannya ia bertemu sejumlah Muslim tertentu yang ingin menjadi jihadis lantaran mereka ingin berpetualang dengan melakukan sejumlah tindakan radikal guna membebaskan kaum mereka dari penindasan. Orang-orang ini merasa selama ini mereka kalah, tertindas, tersubordinasi oleh ideologi lawan yang lebih besar lalu satu-satunya jalan yang bisa mereka lakukan adalah menjadi jihadis Islam.

Motivasi kelima adalah ”millenarist, apocalipstic and eschatological motivation”. Millenarianisme adalah kepercayaan yang timbul dalam kelompok atau gerakan keagamaan, sosial, atau politik yang anggotanya menginginkan segera terjadi transformasi fundamental dalam masyarakat. Ini terjadi akibat mereka meyakini bahwa situasi yang mengungkung saat ini sudah sampai pada tahap merusak dan tidak kondusif buat kepentingan mereka. Dengan melakukan tindakan-tindakan jihadis, mereka yakin masuk surga setelah kiamat nanti.

Motivasi terakhir adalah ”instrumenal or ideological and political motivation”. Menurut Marechal, seorang Muslim bisa juga menjadi jihadis lebih karena faktor ideologi dan politik yang diyakininya, bukan karena faktor lain misalnya faktor keyakinan dalam keagamaan mereka. Orang-orang ini melihat Barat, misalnya, lebih maju dibanding Timur dan karena itu posisi ini harus ditawar dengan menampilkan sikap-sikap keras yang kerap dilakukan kaum jihadis Islam.

Usai Indonesia melaksanakan pemilihan umum sekaligus pemilihan presiden, saya merasa ceramah Brigitte Marechal tidak hanya cocok untuk kasus Belgia, tapi juga cocok untuk negeri saya. Ada aroma kepiluan Abu Lu’lu’ah Fairuz merebak di negeri ini bersama nihilisme yang meyertainya.

Saya khawatir tragedi Umar menular bersama kepiluan massal.

Advertisement

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *