Connect with us

Internasional

Saat Hewan Liar Kuasai Kota dan Bumi Kembali Bernafas Akibat Corona

Published

on

Kabarpolitik.com – Seekor penguin bernama Wellington menikmati hidupnya terbebas dari kurungan kaca di akuarium Shedd di Chicago akibat pandemik virus Corona. Wellington dibebaskan bersama sekelompok penguin lainnya. Wellington pun berjalan-jalan di sekitar tempat ia tinggal selama ini. Ia menikmati ikan-ikan yang berenang di dalam akuarium.

Tak hanya Wellington, hewan lainnya seperti Babi hutan dilaporkan telah turun dari bukit-bukit di sekitar Barcelona sementara rusa sika berjalan di sekitar stasiun metro Nara, Jepang. Media sosial India sendiri telah dipenuhi dengan rekaman seekor rusa jantan berlari cepat melalui Dehradun, ibukota negara bagian utara Uttarakhand.

“Ini adalah habitat yang pernah mereka miliki dan yang kami ambil dari mereka,” kata Marcelo Giagnoni, kepala dinas pertanian dan peternakan Chile yang membantu polisi menangkap kucing besar yang penasaran itu.

Wabah virus corona memang membuat banyak orang dan perusahaan mengalami kerugian, bahkan telah memakan ribuan korban jiwa. Meski demikian, ada pengaruh yang positif dengan berkurangnya polusi udara di Bumi.

Melansir dari media Ars Technica, level CO2 di Bumi berkurang sebanyak 100 juta ton dan mengalami penurunan emisi global sebesar 6%. Hal ini disebabkan karena banyak aktivitas penerbangan dan pengapalan yang harus dibatalkan sehingga CO2 yang dihasilkan dari kendaraan seperti pesawat dan kapal berkurang.

Kemudian warga di beberapa negara juga tidak diperbolehkan keluar rumah sehingga penggunaan kendaraan pribadi dan kendaraan umum sangat berkurang selama beberapa hari.

Selain itu, perusahaan besar di Tiongkok juga sempat berhenti beroperasi selama beberapa hari akibat virus tersebut. Maka dari itulah kadar CO2 di Bumi sempat berkurang cukup besar dan membuat kehadiran virus corona ini setidaknya memiliki dampak positif bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup di Bumi.

“Di tengah pandemi global yang bergerak cepat ini, wajar jika kita juga memikirkan ancaman besar lainnya. Namun perubahan iklim secara global seakan membantu kita bersiap untuk hari esok,” ungkap Ilmuwan Iklim dan pendiri Institut Pasifik di Berkeley, California, Peter Gleick.

Berdasarkan pengamatannya selama dua bulan terakhir, baik China dan Italia telah memperlihatkan penurunan aktivitas manusia yang kerap menyebabkan polusi. Pabrik industri dan tansportasi massal untuk sementara waktu berhenti beroperasi karena dianggap sebagai media penularan COVID-19.

Hal ini menyebabkan kondisi alam dari planet yang kita tinggali ini bisa ‘bernapas’ kembali. Bagaimana kualitas air di kanal Venesia terlihat kembali jernih, tanpa adanya lalu lintas kapal yang berlalu-lalang.

Ungkapan bagaimana Planet Bumi bernapas, bisa dilihat dari proyek ilmiah dari pasangan ilmuwan data data asal Belanda, Nadieh Bremer dan Shirley Wu, pada tahun 2017. Keduanya berhasil menyulap data pada skala waktu tertentu dalam visualiasi digital, berdasarkan proyeksi satelit milik Amerika Serikat (AS) yang mengukur tingkat kesehatan vegetatif di bumi.

Hasilnya terbilang mengejutkan, bagaimana peta digital ini memperlihatkan tingkat kehijauan di bumi selama empat musim terakhir. Animasi visiual yang diberi nama ‘Breathing Earth’ ini memberi kesan bagaimana bumi tengah bernapas.

Keadaan semacam ini mungkin sebuah proyeksi tersendiri dari bumi, yang kembali bernapas di saat pandemi COVID-19. Citra satelit dari sejumlah negara juga menunjukkan hal serupa, bagaimana tingkat polusi di bumi menurun cukup drastis.

Bisa saja di kemudian hari, udara bersih ini mampu menyelamatkan lebih dari 73.000 nyawa yang tinggal di bumi saat ini. Angka itu tentu akan melewati jumlah kematian yang diakibatkan oleh virus corona.

“Mengingat sejumlah besar bukti menyebutkan bahwa menghirup udara kotor berkontribusi besar terhadap kematian dini, pertanyaan alami pun muncul–yang mesti diakui memang aneh– apakah nyawa yang diselamatkan dari pengurangan polusi ini disebabkan oleh gangguan dari COVID-19 itu sendiri,” ungkap ekonom sumber daya lingkungan dari Stanford University, Marshall Burke.

Sebetulnya, itu bukanlah hal yang benar-benar mengejutkan, karena berdasarkan penelitian yang telah lama diketahui sebelumnya, polusi udara mampu menurunkan harapan hidup global dan memangkas tiga tahun peluang hidup manusia.

Hal inilah yang kerap diungkapkan para peneliti iklim, akan ancaman dari ‘Global Warming’. Bahkan ada pandangan skeptis bagaimana pandemi ini secara tidak sengaja menawarkan solusi dalam menangani krisis perubahan iklim.

“Pandemi itu cepat dan menyoroti kemampuan kita atau ketidakmampuan kita untuk merespons ancaman yang mendesak. Tapi seperti pandemi, perubahan iklim dapat direncanakan terlebih dahulu, jika politisi memperhatikan peringatan ilmuwan yang membunyikan alarm,” lanjutnya.

Melansir laporan dari Science Alert, memperlihatkan citra satelit Copernicus Sentinel-5P akan penurunan besar dari polusi udara secara khusus nitrogen dioksida, gas buangan yang berasal dari aktivitas industri dan transportasi. Hal ini terjadi seiring dengan pengurangan aktivitas manusia di luar rumah.

“Meskipun mungkin ada sedikit variasi dalam data karena tutupan awan dan perubahan cuaca, kami sangat yakin bahwa pengurangan emisi yang dapat kita lihat, bertepatan dengan Isolasi di Italia yang menyebabkan lebih sedikit lalu lintas dan kegiatan industri,” kata Claus Zehner, manajer misi ESA Copernicus Sentinel-5P.

Untuk saat ini, memang belum ada studi langsung terkait perubahan iklim yang terjadi akibat COVID-19. Bagaimanapun, juga secara ideal tentu tak ada yang ingin meninggal karena virus corona maupun polusi udara, lantaran keduanya sama-sama merugikan. [rif]

Source

Advertisement

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *