Internasional
Inggris Bikin UU untuk Bantu Cegah Agresi Rusia ke Ukraina

Pertimbangkan Gandakan Jumlah Tentara di Eropa Timur
Kabarpolitik.com – Tentara Inggris memang tidak akan diterjunkan ke Ukraina yang tengah bersiap menghadapi kemungkinan invasi Rusia. Tapi, tidak berarti negeri monarki konstitusional itu tidak akan memberikan dukungan.
Mereka akan terus menyokong agar Ukraina aman.
Menurut Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss, kalaupun serangan benar terjadi, Rusia jangan sampai menang.
Inggris telah mengirimkan 2 ribu senjata antitank dan 30 prajurit untuk melatih pasukan Ukraina. Sebelum ketegangan dua negara terbesar semasa di bawah Federasi Uni Soviet tersebut terjadi, ada 100 tentara Inggris di Ukraina sebagai bagian dari Operasi Orbit untuk melatih 22 ribu tentara Kiev. Operasi tersebut berlangsung sejak 2015.
Mengutip AFP, Inggris saat ini juga membuat undang-undang untuk memperluas cakupan sanksi ke Rusia agar agresi ke Ukraina bisa dicegah. Aturan hukum itu akan menjadikan setiap perusahaan yang berkepentingan dengan Kremlin sebagai sasaran. Pun demikian dengan perusahaan Rusia yang menjadi penopang negara.
”Tidak ada tempat bersembunyi bagi oligarki (Presiden Rusia Vladimir) Putin,” ujar Truss kemarin (30/1).
Tak cukup sampai di situ, Inggris juga mempertimbangkan untuk menambah jumlah ten-tara mereka di wilayah Eropa Timur hingga dua kali lipat. Pengiriman pasukan itu akan memberikan pesan yang jelas kepada Kremlin.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menegaskan bahwa dirinya tidak menoleransi sikap Rusia dan akan selalu mendukung sekutunya, NATO.
”Saya telah memerintah pasukan kami untuk bersiap ditempatkan di penjuru Eropa pekan depan dan memastikan kami bisa mendukung sekutu NATO kami di darat, laut, serta udara,” tegas Johnson seperti dikutip BBC.
Inggris memang bukan anggota Uni Eropa maupun NATO, tapi mereka punya kepentingan. Jika konflik di Ukraina terjadi, pasti itu berdampak juga pada negara tersebut. Inggris juga memiliki kewajiban hukum untuk mempertahankan integritas teritorial Ukraina.
Pada 1994 Inggris dan AS menandatangani sebuah memorandum pada konferensi internasional di Budapest, Hungaria. Mereka berjanji menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan perbatasan Ukraina. Juga memberikan bantuan kepada Ukraina jika mereka menjadi korban tindakan agresi. Itu adalah imbalan karena Ukraina menyerahkan persenjataan nuklirnya yang merupakan warisan keanggotaannya di Uni Soviet. Ironisnya, Rusia juga menandatangani memorandum Budapest tersebut.
Rusia kemarin menyatakan bahwa mereka menginginkan hubungan yang saling menghormati dengan AS dan negara-negara lain di dunia. Mereka juga membantah telah menjadi ancaman bagi Ukraina. Sayangnya, situasi di lapangan dirasa lain.
Saat ini pasukan Rusia sudah mengepung Ukraina dari berbagai penjuru. AS juga melihat indikasi bahwa Rusia telah menempatkan pasokan darah di dekat perbatasan Ukraina. Itu adalah bagian dari akumulasi pasokan medis, pasukan, dan peralatan militer di wilayah tersebut. Ia bisa menjadi penanda rencana invasi. Pasokan darah diperlukan untuk menangani korban saat konflik terjadi.
Tak ada satu pun yang menginginkan perang terjadi. Sebab, dampaknya bisa dirasakan secara global. Yang pertama tentu saja potensi krisis pengungsi. Eropa sekali lagi akan menjadi jujukan pengungsi Ukraina jika terjadi invasi. Padahal, mereka sudah sakit kepala mengurus arus pengungsi dari Syria dan negara-negara Afrika.
Perang juga bisa memicu terhentinya sektor agrikultural. Padahal, Ukraina adalah satu di antara empat pengekspor biji-bijian terbesar di dunia. Menurut proyeksi International Grain Council, Ukraina diperkirakan menyumbang sekitar seperenam dari impor jagung dunia dalam lima tahun ke depan. Terhentinya ekspor jelas bakal memengaruhi produksi makanan tertentu yang biasa mendapat suplai dari Ukraina.
Dampak yang paling besar adalah kemungkinan terjadinya krisis energi. Utamanya di Eropa. Rusia merupakan salah satu penyuplai energi terbesar di dunia. Ia juga negara transit utama untuk menuju sebagian besar wilayah Eropa.
Saat ini Rusia menyuplai sekitar 30 persen gas alam di Uni Eropa. Pasokan itu memainkan peran penting untuk menghidupkan pembangkit listrik dan pemanas rumah di seluruh Eropa Tengah dan Timur. Badan Energi Internasional menyatakan bahwa Rusia telah mengurangi ekspor ke Eropa beberapa bulan terakhir. Moskow juga memberikan tekanan pasokan ke Moldova.
”Kami melihat Rusia dalam beberapa bulan terakhir mengeksploitasi dan memperburuk masalah kenaikan harga serta pasokan energi global,” tegas Nigel Gould-Davies, mantan duta besar Inggris di Belarus yang kini menjadi pengamat senior di lembaga International Institute for Strategic Studies (IISS).
