Pemerintahan
Membedah Fungsi Politik dan Sejarah Museum Kepresidenan Balai Kirti

JAKARTA – Keberadaan Balai Kirti sebagai Museum Kepresidenan di Istana Bogor layak mendapat apresiasi. Namun, ada beberapa masukan menjadi catatan, antara lain Balai Kirti perlu memiliki strategi akusisi koleksi yang relevan dengan perkembangan masyarakat, serta membangun relevansi dan resonansi Museum Kepresidenan dengan perkembangan Indonesia sebagai negara besar.
Pernyataan itu disampaikan Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Eko Sulistyo saat menjadi narasumber pada Diskusi Terbatas ‘Tata Pamer Museum Kepresidenan RI, Balai Kirti’, di Hotel Golden Boutique, Jakarta, Kamis, 11 Juli 2019.
Koleksi khusus yang perlu diketengahkan di Balai Kirti, menurut Eko Sulistyo antara lain terkait ‘Indonesia dan Reformasi’, ‘Demokrasi dan Negeri Muslim Terbesar: Dunia Islam dan Indonesia pada masa Reformasi’, ‘Middle Power: Indonesia sebagai Aktor Politik Global serta Nawacita’, dan ‘Indonesia dalam Periode Pertama Kepresidenan Joko Widodo’.
Mengutip Dirjen Kebudayaan Kemdikbud Hilman Farid, Eko menjelaskan, narasi penting dari museum selain sebagai politik identitas nasional dan pembangunan kharakter bangsa, juga sebagai medium rekonsiliasi dan menegoisasikan konflik alias mendamaikan sejarah di masa lalu.
Lulusan Ilmu Sejarah Universitas Negeri Sebelas Maret Solo ini juga membeberkan fungsi politik dan sejarah museum kepresidenan.
Museum nasional Eropa telah berkembang menjadi lembaga-lembaga utama. Mereka telah menjadi bagian dari ‘pembentukkan budaya’, memberikan ke dalam proses pembentukkan politik suatu negara dengan lapisan pengikat berupa sejarah bersama, yang mencakup juga material budaya bersama.
Proses pembentukkan budaya ini memperkaya proses pembentukkan politik dengan penyeimbang yang lebih stabil dan fleksibel untuk menegosiasikan konflik di ruang budaya. Karenanya, museum-museum nasional sebagai kekuatan penstabil yang nyata, dapat dianggap sebagai semacam ‘perekat budaya’.
“Selain yang telah diamanatkan Perpres 132/2014, yaitu mengkomunikasikan perjuangan Presiden-Presiden Republik Indonesia beserta nilai-nilai dan tantangan yang mereka hadapi, Museum Kepresidenan juga memiliki fungsi-fungsi lain,” kata Eko.
Fungsi-fungsi itu antara lain menjadi medium yang dapat mengetengahkan secara proporsional pembahasan dan diseminasi sejarah setiap presiden, menjadi medium klarifikasi atas kontroversi yang terjadi dalam masa pemerintahan masing-masing presiden, serta menjadi pusat studi kepemimpinan nasional yang obyektif dan mengambil semua pembelajaran yang didokumentasikan oleh museum.
Eko pun memberi masukan pada empat kebutuhan dasar masyarakat, sebagai bagian dari pemenuhan bangsa yang diharapkan dapat diwujudkan oleh Balai Kirti. Empat hal itu yakni akses, artefak, pengetahuan, dan keingintahuan.
“Akses maksudnya karena letaknya terbatas dalam komplek Istana Kepresidenan Bogor, maka perlu diversifikasi bentuk akses seperti pameran keliling koleksi, baik dengan Museum Istana lain, museum-museum lainnya atau dengan membuka website yang lengkap,” urainya.
Terkait artefak, harus terus memperbaharui koleksi benda-benda bersejarah, terkait dengan masa pemerintahan masing-masing presiden yang dilengkapi dengan produk pengetahuan, serta kegiatan-kegiatan yang bersifat membangkitkan keingintahuan, terutama generasi muda.
Kerjasama dengan Lembaga Legacy Presiden
Untuk pengembangan Museum Kepresidenan Balai Kirti, Eko Sulistyo menyarankan adanya kerjasama dengan lembaga-lembaga masyarakat yang didirikan sebagai legacy presiden, seperti ‘Habibie Center’, ‘Megawati Institute’, atau ‘Yudhoyono Institute’ untuk program riset dan diseminasi bertemakan periode masing-masing presiden ataupun studi komparasi.
Selain itu, perlu juga perbaikan website Balai Kirti untuk lebih dapat memberikan informasi akses, koleksi, dan kegiatan museum.
“Jangan lupakan juga penggunaan media sosial, terutama melalui influencer dan manajemen konten, sehingga diminati masyarakat. Konten perlu dikuatkan dalam story-telling yang baik dan trendy,” pungkas Eko Sulistyo.
