Connect with us

Politik

Bambang Haryo: Kenaikan Tarif Tol Harus Dievaluasi, Jangan Bebani Masyarakat

Published

on

Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekartono, menegaskan bahwa rencana kenaikan tarif tol di 36 ruas harus dievaluasi secara menyeluruh dan melibatkan pengguna jalan. Ia menekankan pentingnya transparansi dan audit independen sebelum keputusan tersebut diambil.

“Pengguna jalan, asosiasi industri, perusahaan logistik, hingga YLKI harus dilibatkan dalam pengkajian tarif. Pengelola tol wajib terbuka mengenai variabel penghitungan tarif,” ujar Bambang Haryo, Senin (21/4/2025).

Menurutnya, tarif tol di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara, padahal kualitas infrastrukturnya masih di bawah standar. Ia membandingkan dengan Malaysia, di mana tarif tol bisa tiga kali lebih murah.

“Sebagian pembangunan tol dibiayai APBN. Maka logikanya, tarif seharusnya lebih murah,” tegasnya.

Bambang juga mengkritisi kualitas jalan tol yang hanya menggunakan rigid pavement (beton kasar) tanpa lapisan aspal, yang dinilai berbahaya dan jauh dari standar keselamatan.

“Jika dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand, tarif tol Indonesia tetap lebih mahal, padahal kualitas jalan mereka lebih baik,” ujarnya.

Ia membeberkan data bahwa hanya 2,5 persen kendaraan logistik dan 5 persen angkutan massal yang memanfaatkan jalan tol, menunjukkan ketidakefisienan fungsi tol sebagai infrastruktur penunjang ekonomi nasional.

“Kalau tol hanya dinikmati kendaraan pribadi, di mana kontribusinya bagi logistik nasional? Harusnya tol bisa mempercepat distribusi barang dan penumpang secara lebih murah dan aman,” ucapnya.

Untuk itu, ia mendorong pemerintah melakukan audit terbuka terhadap pengelola tol, melibatkan masyarakat dan asosiasi transportasi.

Selain itu, Bambang meminta agar konsesi pengelolaan tol dievaluasi. Banyak jalan tol yang sudah seharusnya kembali menjadi milik negara sesuai masa konsesinya.

“Jalan tol yang sudah lama justru seharusnya tarifnya makin murah, bukan malah naik. Apalagi jika jalanan banyak berlubang dan bergelombang seperti di Sumatra, itu jelas melanggar standar pelayanan minimum menurut UU Jalan Nomor 38 Tahun 2004,” tutupnya.