Pemerintahan
Humas K/L bersama Media Kawal Program Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem 2024
Jakarta, Kabarpolitik.com – Di tengah tantangan pandemi Covid-19, pemerintah saat ini terus berupaya menghapus kemiskinan ekstrem di tanah air hingga 2024 mendatang. Upaya ini pun diperkuat dengan peluncuran Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (PPKE).
Adapun pelaksanaan Inpres ini dikoordinasikan secara langsung oleh Wakil Presiden selaku Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Inpres tersebut juga mengamanatkan 22 kementerian, 6 lembaga, dan pemerintah provinsi/kabupaten/kota untuk bersama-sama melaksanakan program Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (PPKE) yang ditargetkan hingga 31 Desember 2024.
Upaya percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem tersebut tentunya perlu disebarluaskan sebagai bentuk transparansi keterbukaan informasi publik dalam upaya percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. Penyebarluasan informasi ini juga perlu dilakukan secara menyeluruh agar menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan.
Berkaitan dengan hal tersebut, TNP2K bekerja sama dengan Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI), Sekretariat Wakil Presiden menyelenggarakan sesi knowledge sharing (berbagi pengetahuan) dengan tema “Mengawal Program Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem 2024” pada Kamis, (19/10/2022) di Auditorium Sekretariat Wakil Presiden. Kegiatan ini mengundang 28 perwakilan humas dari kementerian/lembaga dan sejumlah wartawan dari media massa.
Kegiatan knowledge sharing ini dibuka oleh Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan selaku Sekretaris Eksekutif TNP2K Suprayoga Hadi. Sedangkan pembicara yang diundang adalah Asisten Staf Khusus Wapres Bidang Komunikasi dan Informasi Asrori S. Karni serta CEO Asakreativita dan Co-Chair Task Force 5 T20 Vivi Alatas.
Saat membuka acara, Suprayoga Hadi memaparkan berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan yang mencakup kebijakan-kebijakan yang perlu dioptimalisasi, utamanya melalui pelibatan sektor nonpemerintah.
Menurut Yoga, kerangka kebijakan dalam upaya percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem mencakup tiga strategi, yakni menurunkan beban pengeluaran, meningkatkan pendapatan, dan meminimalkan wilayah kantong-kantong kemiskinan.
Untuk menurunkan beban pengeluaran masyarakat miskin, papar Yoga, pemerintah melakukan beberapa langkah, seperti memastikan kelompok miskin ekstrem dalam memperoleh berbagai program perlindungan sosial, meningkatkan koordinasi K/L dan pemerintah daerah untuk mendorong komplementaritas program perlindungan sosial pusat dan daerah, serta pengembangan dan pelaksanaan inovasi kebijakan dan program perlindungan sosial terutama untuk kelompok rentan (lansia, penyandang disabilitas, pekerja informal dan perempuan).
Selain itu, dilakukan pelibatan komunitas, lembaga non pemerintah, dan swasta, serta peningkatan akses masyarakat miskin ekstrem ke dokumen kependudukan (Akta Kelahiran dan NIK).
“Ini yang selama ini kita kenal dengan pemberian bantuan sosial, subsidi, jaminan sosial, serta pengaman sosial di saat Covid-19,” sebutnya.
Kemudian, terkait pelaksanaan strategi kedua yaitu meningkatkan pendapatan masyarakat miskin, pemerintah melakukan berbagai langkah strategis, seperti melakukan pemberdayaan UMKM, pengembangan ekonomi lokal, dan memberikan kemudahan akses pekerjaan.
“Hal ini dilakukan agar masyarakat menjadi lebih sustain karena tidak hanya diberikan bantuan sosial tetapi juga bagaimana mereka bisa diberdayakan,” ungkap Yoga.
“Kita belajar dahulu kita punya PNPM contohnya, jadi bagaimana pemberdayaan masyarakat ini juga menjadi penting tetapi dalam aspek ekonomi yang juga kita dorong. Jadi kita akan coba bagaimana UMKM kita manfaatkan, bagaimana pengembangan ekonomi lokal, akses pekerjaan termasuk vokasi dan pelatihan, program padat karya, menjadi penting kita tingkatkan,” imbuhnya.
Untuk meminimalkan wilayah kantong kemiskinan, tutur Yoga, pemerintah terus melakukan peningkatan akses masyarakat terhadap layanan dasar dan konektivitas antarwilayah. Termasuk juga meningkatkan kesempatan mendapatkan pekerjaan, meningkatkan kapasitas SDM, meningkatkan kapasitas dan akses pembiayaan UMKM, mendorong konvergensi anggaran dan konsolidasi program, serta meningkatkan peran daerah dan pemangku kepentingan lainnya.
“Kantong kemiskinan ini bukan hanya ada di desa tetapi juga ada di daerah kumuh perkotaan. Bahkan beberapa daerah di Jakarta seperti di wilayah Galur, Kecamatan Senen masih banyak penduduk yang tidak punya KTP, tidak terdaftar di bantuan sosial. Nah ini yang harus kita lihat lagi datanya,” ungkapnya.
Selanjutnya, Vivi Alatas dalam paparannya banyak mengulas mengenai kebijakan penanggulangan kemiskinan, mencakup kebijakan-kebijakan yang perlu dioptimalisasi utamanya melalui pelibatan sektor nonpemerintah. Serta memberikan rekomendasi upaya peningkatan efektivitas program/kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan sektor nonpemerintah dalam mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem.
Dari sudut pandang pengamat ekonomi, Vivi menyampaikan bahwa tingginya angka kemiskinan di Indonesia disebabkan antara lain oleh akses dan kualitas pelayanan publik masih timpang, serta kesempatan kedua dalam meningkatkan keterampilan masih kurang.
“Tidak cukup hanya akses, kualitas juga tidak kalah penting. Memastikan setiap orang punya kualitas pendidikan yang layak itu dampaknya 9 kali lebih tinggi berdasarkan studi OECD,” ujar beliau.
Lebih lanjut menurut Vivi, Pemerintah diharapkan memperbaiki metoda koleksi data agar program pengentasan kemiskinan lebih tepat.
“Ada 4 cara memperbaiki metoda koleksi data. Pertama, integrasi daftar rumah tangga dari berbagai data. Selain itu, perlu dilakukan on demand application system. Kemudian libatkan komunitas, dan pendaftaran dari pintu ke pintu di kantong kemiskinan,” usulnya
Sementara, Asrori S. Karni menyampaikan tentang keterbukaan informasi publik dalam mendukung Upaya PPKE. Menurutnya, keterbukaan informasi publik ini penting dalam mendukung PPKE dengan cara penguatan humas kementerian/lembaga/Pemda.
“Penting, baik dari sisi arus informasi dari pemangku kebijakan ke publik, maupun sebaliknya, dari sisi arus balik informasi dari publik pada pemangku kebijakan, sebagai bagian mekanisme kontrol implementasi kebijakan,” paparnya.
Selanjutnya, tutur Asrori, penguatan humas perlu difokuskan pada penyediaan informasi kebijakan PPKE dan penyebarluasan informasi melalui media sebagai akselerasi publikasi secara masif.
“PPKE hanya dapat dilakukan melalui upaya pemerintah yang terintegrasi serta didukung oleh kerja bersama sektor non pemerintah,” ujarnya.
Sebagai langkah kolaboratif, lanjut Asrori, diperlukan penguatan kolaborasi pentahelix antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, media, dan masyarakat sipil untuk mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem. Terutama terkait penyebarluasan konvergensi dan kolaborasi program antar K/L/Pemda secara menyeluruh agar menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan.
“Diseminasi informasi ini sebagai bentuk transparansi keterbukaan informasi publik dalam upaya PPKE. Masyarakat sebagai penerima manfaat program memerlukan informasi dan pemahaman terkait program PPKE, untuk dapat meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap program,” ungkapnya.
Kemudian, kata Asrori, Humas K/L/Pemda sebagai ujung tombak perluasan informasi kebijakan pemerintah, harus memastikan ketersediaan informasi tentang upaya PPKE kepada masyarakat secara umum dan media secara khusus.
“Ujungnya, media sebagai bagian unsur pentahelix dalam upaya PPKE dapat melakukan akselerasi publikasi secara masif,” pungkasnya. (EP/DMA/AS-rls)