Nasional
Ketua MUI: Mujahid Digital Kejar Ketertinggalan Dakwah Ormas Islam Mainstream di Media Sosial
JAKARTA— Ketua MUI Bidang Informasi dan Komunikasi, KH Masduki Baidlowi, menyampaikan Mujahid Digital berperan mengejar ketertinggalan cara berdakwah ormas Islam mainstream di Indonesia.
Mujahid Digital merupakan program MUI untuk melatih kalangan pemuda membantu dakwah para ulama di berbagai daerah. Sebelumnya, pelatihan Mujahid Digital sudah dilaksanakan di beberapa Provinsi di Indonesia.
Kiai Masduki mengatakan, Mujahid Digital akan mampu mengejar ketertinggalan dakwah ormas Islam mainstrem seperti NU, Muhammadiyah, maupun MUI sendiri.
Dia menyebut, orientasi dakwah ormas Islam mainstream di Indonesia masih menyasar kalangan kolonial. Ini berbahaya sebab generasi masa depan adalah kalangan generasi Z dan milenial. Kalangan ini justru disasar kelompok Islam yang bukan mainstrem dan bukan wasathiyah.
“Jadi Islam Wasathiyah ini harus dibungkus sedemikian rupa dengan cara-cara digital dan itulah tantangan NU, Muhammadiyah, bahkan MUI. Itu menjadi tantangan Mujahid Digital, ” ujarnya saat memberikan sambutan dalam Kick Off Mujahid Digital, Rabu (31/08) di Graha Mental Spiritual, Jakarta.
Sasaran dakwah di masa mendatang, kata dia, didominasi kalangan generasi Z dan Milenial. Dalam catata dia, saat ini jumlah generasi Z sudah mencapai 27,29 persen.
“Mereka tidak mau dakwah yang hanya narasi lagi, pembelajaran menggunakan audio lebih didengarkan generasi muda dan kalangan generasi milenial, ” tegasnya
Karena itu, Kiai Masduki menyampaikan, metode begitu penting dalam menyampaikan dakwah. Saat ini, umat berhadapan dengan tantangan dakwah berupa digitalisasi informasi dan kemauan dari kalangan muda.
“Generasi Z itu mendominasi penduduk Indonesia. Kalau kita bicara Islam Wasathiyah maka kita harus bergerak di Mujahid Digital ini. Media sosial ini menjadi ajang penting medan dakwah kita, ” ungkapnya.
Selain menyuarakan Islam wasathiyah, Kiai Masduki menyampaikan, Mujahid Digital juga berperan memerangi bias konfirmasi yang berkembang seiring majunya sosial media. Dia menyebut bias informasi ini sebagai penyakit media sosial.
Dia mencontohkan, apa yang terjadi di Afghanistan ketika perempuan sama sekali tidak memiliki hak, bahkan untuk belajar, menunjukkan adanya bias informasi dan konfirmasi yang menumpuk dari generasi ke generasi.
“Tugas kita mentransformasikan informasi dengan duduk permasalahan yang sebenarnya dan itu perlu kita kemukakan bersama-sama, ” ungkapnya. (A Fahrur Rozi/Azhar)
[MUI]