Hukum
Mantan Sekretaris MA Nurhadi Akhirnya Ditangkap KPK, Ini Kasus yang Menjeratnya
Kabarpolitik.com – Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi (NHD) dan menantunya, Rezky Herbiyono (RH) akhirnya tertangkap Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keduanya diduga terlibat suap dan gratifikasi terkait pengurusan perkara di MA dan dinyatakan masuk daftar pencarian orang (DPO) KPK sejak 13 Februari 2020.
Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango membenarkan ada penangkapan terhadap Nurhadi dan Rezky Herbiyono. Ia mengapresiasi kinerja tim penyidik hingga membuahkan hasil penangkapan terhadap Nurhadi dan menantunya pada Senin malam.
“Tadi usai maghrib saya diminta teman-teman satgas penyidik untuk ke kantor, berdiskusi rencana penangkapan. Terima kasih dan penghargaan kepada rekan-rekan penyidik dan unit terkait lainnya yang terus bekerja sampai berhasil menangkap NHD dan menantunya, RH,” kata Nawawi saat dikonfirmasi awak media, Senin, 1 Juni 2020.
Nawawi menerangkan, penangkapan terhadap Nurhadi dan memantunya menandakan bahwa KPK masih terus bekerja. Nawawi mengatakan Nurhadi dan menantunya diamankan di sebuah rumah daerah Jakarta Selatan.
“Ini membuktikan bahwa selama ini KPK terus bekerja. Lokasi pada sebuah rumah di bilangan Jaksel,” ujarnya.
KPK menetapkan Nurhadi, Rezky Herbiyono dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto sebagai tersangka pada 16 Desember 2019. Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA. Adapun Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Penerimaan tersebut terkait pertama, perkara perdata PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) (Persero) pada 2010. Pada awal 2015, Rezky menerima 9 lembar cek atas nama PT MIT dari tersangka Hiendra untuk mengurus perkara Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Kasasi No: 2570 K/Pdt/2012 antara PT MIT dan PT KBN. Selain itu juga dalam proses hukum dan pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN oleh PN Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan.
Untuk membiayai pengurusan perkara itu, Rezky menjaminkan 8 lembar cek dari PT MIT dan 3 lembar cek milik Rezky untuk mendapatkan uang dengan nilai Rp 14 miliar. Namun, kemudian PT MIT kalah dan karena pengurusan perkara tersebut gagal. Karena itu Hiendra meminta kembali 9 lembar cek yang pernah diberikan tersebut.
Perkara kedua adalah pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT MIT. Pada 2015 Hiendra digugat atas kepemilikan saham PT MIT. Perkara perdata ini dimenangkan oleh Hiendra mulai dari tingkat pertama dan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Januari 2016.
Pada periode Juli 2015-Januari 2016 atau ketika perkara gugatan perdata antara Hiendra dan Azhar Umar sedang disidangkan di PN Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, diduga terdapat pemberian uang dari tersangka Hiendra kepada Nurhadi melalui Rezky sejumlah total Rp 33,1 miliar.
Pemberian uang itu dilakukan dalam 45 kali transaksi. Pemecahan transaksi tersebut diduga sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan karena nilai transaksi yang begitu besar. Beberapa kali transaksi juga dilakukan melalui rekening staf Rezky. Tujuan pemberian tersebut adalah untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata terkait kepemilikan saham PT MIT.
Sedangkan perkara ketiga adalah penerimaan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan. Nurhadi melalui Rezky dalam rentang Oktober 2014-Agustus 2016 juga diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp 12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian.
Penerimaan-penerimaan tersebut, tidak pernah dilaporkan oleh Nurhadi kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan gratifikasi. [rif]