Nasional
MUI Apresiasi Sikap Pemerintah Tolak Legalkan Pernikahan Beda Agama di Indonesia
JAKARTA— Komisi Hukum dan HAM Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengapresiasi sikap pemerintah melalui Menkum HAM Yasona Laoly dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menolak melegalkan pernikahan beda agama di Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan kuasa dari Kemenag, Kamaruddin Amin, saat sidang judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan warga Papua, Ramos Petege beberapa waktu lalu.
“Artinya Pemerintah sejalan dengan MUI dan Ormas Islam secara keseluruhan bahwa UU No 1 Tahun 1974 sudah sesuai dengan konstitusi UUD 1945,” kata Ketua Komisi Hukum dan HAM, Prof Deding Ishak kepada MUIDigital, Jumat (8/7/2022).
MUI, kata Prof Deding, meyakini bahwa MK dalam melakukan pertimbangan dan mengambil keputusannya akan menolak judicial review pemohon untuk melegalkan pernikahan beda agama di Indonesia.
Prof Deding menuturkan, melegalkan pernikahan beda agama akan menimbulkan implikasi yang sangat serius. Salah satunya dapat merusak fondasi dan sendi rumah tangga karena banyak mudharatnya.
Lebih lanjut, Prof Deding menyampaikan, apa yang dilakukan pemerintah terkait hal ini bukanlah bentuk intervensi terhadap individu. Hal ini dikarenakan merupakan kewajiban negara untuk menfasilitasi dan menjalankan Undang-undang Dasar 1945.
Selain itu, dalam perspektif sejarah, kata Prof Deding, Indonesia adalah bangsa yang religius yang dikenal dengan istilah sosialis religius.
“Maksudnya masyarakat yang agamis, kita tidak mengatakan Indonesia diklaim sebagai negara Islam, tidak. Karena dasar negara Pancasila, tetapi Pancasila sebagai dasar negara ini menjadi titik temu dari keragaman agama,” tuturnya.
Prof Deding menerangkan, agama menjadi landasan moral, spiritual dan sosial, serta menjadi spirit pembangunan nasional yang dijalankan Pemerintah.
Dia menjelaskan, dasar negara Indonesia yaitu Pancasila menegaskan dalam sila pertamanya adalah ketuhanan yang maha esa.
Maka dari itu, lanjutnya, meskipun Indonesia bukan negara agama, melainkan yang juga pernah disampaikan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, Indonesia adalah negara yang berketuhanan.
“Artinya, nilai-nilai ketuhanan yang Mahaesa menjiwai seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia, termasuk aspek kehidupan kenegaraan,” jelasnya.
Tokoh Jawa Barat ini mengungkapkan, dalam UU Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 menegaskan, Indonesia menjadi negara ketuhanan yang Mahaesa.
Dia menambahkan, Indonesia juga menjamin bagi penduduknya untuk memeluk agama dan kepercayaan. Sehingga, agama sudah menjadi ruh bagi kehidupan kebangsaan di Indonesia.
Prof Deding menuturkan, setiap produk UU dan kebihakan negara yang dijalankan oleh Pemerintah harus merujuk atau bersumber pada nilai-nilai agama.
“Tidak boleh mengabaikan atau menyimpang dari nilai agama. Karena agama ini sebagai semangat jiwa dari setiap pembentukan kebijakan negara maupun pembentukan undang-undang,” tegasnya.
Prof Deding mengatakan, Indonesia sudah biasa menyelenggarakan kegiatan keagamaan seperti sholat Idul Adha, peringatan Maulid Nabi dan Isra Miraj di Istana.
Bahkan, kata dia, penyelenggaraan MTQ Nasional sudah menjadi kebijakan negara, bukan hanya kebijakan Kementerian Agama. Pada gelaran MTQ Nasional, lanjutnya, biasanya dibuka Presiden dan ditutup Wakil Presiden.
“Jadi, nilai-nilai ini mewarnai karena memang Indonesia adalah masyarakat yang agamis,” ujar dia.
Dengan Pancasila ini, setiap agama tentu dijamin eksistensinya sehingga dalam menjalankan agamanya bagi masyarakat Islam seperti pernikahan, sangat jelas hukumnya bahwa pernikahan ini akan sah apabila dilakukan oleh kedua mempelai yang satu agama.
“Jadi sudah benar negara begitu. Ini bukan kewajiban negara, justru melayani umat beragama (termasuk) umat Islam,” tegasnya.
Menurut dia, apa yang dilakukan Pemerintah terkait hal ini sudah benar karena menjalakan semangat dari Jiwa Pancasila.
Prof Deding menambahkan, Indonesia meskipun bukan negara agama (teokrasi), tetapi Indonesia memiliki Kementrian Agama.
Oleh karenanya, lanjutnya, agama menjadi landasan moral, spiritual dan sosial dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, nilai-nilai agama menjadi sumber dalam proses pembentukan hukum dan UU.
Apalagi, dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 ini dibuat dalam proses yang sangat sesuai dengan aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Maka dari itu, kata Prof Deding, hal ini harus dijalankan Pemerintah dan masyarakat Indonesia karena harus tunduk terhadap UU. “Karena ini sudah masuk UU, jadi istilahnya nilai-nilai hukum syariat Islam ini sudah masuk dalam sistem hukum nasional. Jadi sudah tidak diperbedatkan lagi, sudah pelaksanaan ini,” ujar dia. (Sadam Al-Ghifari, ed: Nashih)
[MUI]