Nasional
Ngaji Kebangsaan BPET MUI, BNPT Jelaskan Beda Radikalisme dan Berfikir Radikal
JAKARTA — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI menyampaikan bahwa orang Islam wajib berfikir secara radikal agar substansial, mendasar, mengakar dan fundamental.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid mewakili Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Ahmad menjadi keynote speaker di Ngaji Kebangsaan.
“Tetapi tidak boleh kita menjadikan isme (yaitu) ideologi atau paham. Sehingga menjadi radikalisme atau ekstrimisme,” ujarnya di Pondok Pesantren Motivasi Indonesia, Bekasi, Rabu (21/9/2022).
Dikatakan Ahmad Nurwakhid, radikalisme dan ekstrimisme memiliki banyak penafsiran yang berbeda di kalangan akademik.
Dia menerangkan bahwa radikalisme dan ekstrisme adalah identik. Radikalisme merupakan terminologi lokal, sedangkan ekstrimisme merupakan terminologi asing.
“Jadi kita samakan persepsi mau pake ekstrimisme maupun radikalisme silahkan. Radikalisme adalah paham yang menjiwai semua aksi terorisme,” jelasnya.
Ahmad Nurwakhid menegaskan, bahwa seseorang termasuk umat Islam boleh berfikir radikal karena radikal itu sendiri berasal dari kata radiks yang berarti akar.
Tetapi, ia kembali menegaskan bahwa tidak boleh ditambah isme karena bisa menjadi sebuah sikap atau gerakan yang berpotensi makar maupun berpotensi mengarah kepada terorisme.
“Kelompok radikalisme seringkali salah mentafsiri, memanipulasi, dan mendistorsi serta mempolitisasi agama. Mempolitisasi ayat-ayat agama suci,” ungkapnya.
Ahmad Nurwakhid mengatakan, para ulama yang mengikuti Konfrensi di Kairo beberapa waktu lalu mendefinisikan radikalisme atau ekstrimisme adalah paham atau ideologi yang dibangun diatas manipulasi dan distorsi agama.
“Sehingga, ini benar-benar menjadi fitnah di dalam agama. Makanya kami menegaskan tidak ada kaitannya terorisme yang dijiwai oleh radikalisme tadi dengan agama apapun termasuk Islam,” tegasnya.
BNPT menjelaskan, para terorisme yang menjiwai radikalisme itu tindakan dan propaganda aktivitasnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama terutama agama Islam yang mewajibkan rahmatan lil alamin, akhlaqul karimah, serta mencintai Tanah Air dan bangsanya.
“Jadi Islam mulia. Ketika menjadi Islamisme, maka menjadi Islam politik. Itu yang namanya distorsi Islam. Islam sebagai agama yang bersumber dari firman Allah yang sempurna sebagai sumber inspirasi, terdistorsi menjadi ideologi,” paparnya.
Sehingga, kata dia, Islam tidak lagi_rahmatan lil alamin_ melainkan sudah menjadi lil kelompok, partai, golongan dan sebagainya.
“Meskipun yang terpapar paham ini tidak otomatis menjadi terorisme. Radikalisme terkait pemahaman agama yang salah dan menyimpang dari oknum umat beragama,” tuturnya.
Biasanya, terang dia, dimonopoli oleh oknum umat beragama yang mayoritas di suatu wilayah atau negara. Indonesia, lanjutnya, yang kebetulan mayoritas penduduknya beragama Muslim, semua teroris yang ditangkap oleh BNPT memiliki identitas di KTP sebagai Muslim.
“KTP-nya Muslim. Saya tidak berani mengatakan mereka Islam, karena Islam yang saya yakini dan bapak ibu yakini tidak seperti itu,” pungkasnya.
Diketahui, kegiatan ini digelar oleh Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme (BPET) MUI bekerja sama BNPT RI.
Kegiatan ini bertajuk: Optimalisasi Islam Wasathiyah dalam Mencegah Ekstrimisme dan Terorisme yang dihadiri oleh sejumlah tokoh di antaranya Dewan Pengarah BPET MUI Prof Noor Achmad, Ketua MUI Bidang PRK Prof Amany Lubis, dan Peneliti Terorisme UI Sholahuddin.
(Sadam Al-Ghifari/Fakhruddin)
[MUI]