Politik
Pilkada Langsung atau Lewat DPRD tidak Bertentangan dengan Nilai Pancasila
JAKARTA (20 Desember): Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya menegaskan bahwa sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat maupun melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sama-sama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Menurutnya, kedua sistem tersebut dapat berjalan dalam kerangka demokrasi Pancasila.
βKita tidak bisa melihatnya secara hitam putih. Dua-duanya hidup di ranah Pancasila. Dulu, di zaman sistem tertutup, disebut demokrasi Pancasila. Sekarang dengan demokrasi yang lebih liberal, kita juga tetap berada dalam alam Pancasila,β ujar Willy di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (18/12).
Menurut Willy, hingga saat ini bangsa Indonesia belum dapat memastikan sistem pilkada mana yang lebih mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Namun, ia menekankan bahwa Bung Karno sebagai perumus Pancasila mengedepankan prinsip musyawarah dan mufakat dalam pengambilan keputusan.
βBung Karno lebih memilih musyawarah dan mufakat dalam konsep sosio demokrasi. Kalau berbicara pada variabel substantif yang bernama sosio demokrasi, kita sebenarnya sudah menikmati kemewahan demokrasi yang seperti ini,β ungkap Willy.
Legislator Partai NasDem dari Daerah Pemilihan Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sampang, dan Sumenep)Β itu berpandangan, wacana perubahan sistem pilkada tidak boleh diputuskan secara tergesa-gesa.
Ia mendorong para pemangku kebijakan, akademisi, dan lembaga riset untuk melakukan kajian mendalam sebelum memutuskan sistem yang paling cocok diterapkan di Indonesia.
βApa yang paling tepat untuk kita lakukan adalah berbasis riset. Saya menawarkan dua perspektif. Pertama, kekuatan negara kita ada pada dialog. Kedua, semua sistem politik adalah kesepakatan bersama atau common consensus. Jadi, mari kita duduk bersama,β tegas Willy.
Willy juga menyoroti fenomena mahalnya biaya pilkada, termasuk pengeluaran besar-besaran untuk survei elektabilitas dan popularitas. Menurutnya, kajian riset yang komprehensif dapat membantu menemukan solusi agar beban biaya politik dapat dikurangi.
βKenapa selama ini pilkada membutuhkan biaya besar untuk survei elektabilitas dan popularitas? Sistem politik seperti ini mestinya bisa diubah dengan berbasis riset. Negara maju itu berbasis riset. Sebelum menyesal, lebih baik kita pikirkan sekarang. Apalagi, empat tahun ke depan tidak ada pemilu, jadi ini tidak mendesak,β paparnya.
Untuk memastikan sistem pilkada yang ideal, Willy mengajak perguruan tinggi dan fakultas ilmu sosial politik (FISIP) dari berbagai universitas di Indonesia untuk ikut terlibat. Dia menekankan pentingnya kolaborasi lintas lembaga dalam mengkaji sistem pemilihan yang sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia dalam jangka panjang.
βFISIP dari pelbagai universitas harus ikut serta. Kita butuh survei dan kajian dari mereka, walaupun nantinya itu belum tentu menjadi keputusan final,β tuturnya.
Ia berharap kajian bisa menghasilkan sistem politik yang lebih adaptif, relevan, dan sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia ke depan. Baginya, keputusan yang diambil tanpa riset yang memadai hanya akan merugikan bangsa di kemudian hari.
βEmpat tahun ke depan tidak ada pemilu, jadi ini momen yang tepat untuk melakukan riset dan evaluasi. Kita perlu menarik napas, berpikir jernih, dan menemukan sistem yang lebih baik,β pungkasnya.
(metrotvnews/safa/*)