Politik
Bawaslu Dinilai Mengkhianati Demokrasi
Ilustrasi koruptor. Medcom.id/M Rizal.
Jakarta: Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dinilai telah mengkhianati makna demokrasi dengan meloloskan mantan narapidana kasus korupsi menjadi bakal calon legislatif. Sikap Bawaslu ini tidak sejalan dengan komitmennya dalam upaya mengantisipasi perilaku koruptif di politik.
“Bawaslu dan pemerintah memang bersikap ambigu terhadap pengajuan mantan koruptor sebagai caleg. Pada satu sisi mereka meminta agar parpol tidak mencalonkan mantan koruptor, pada sisi lain mereka tidak setuju pencalonan mantan koruptor dilarang melalui PKPU,” kata Analis Politik Exposit Strategic Arif Susanto dalam diskusi ‘Bawaslu Macam Mandor di Zaman Belanda’ di Setia Budi, Jakarta Selatan, Minggu, 2 September 2018.
Sikap ambiguitas Bawaslu inilah yang menjadi celah mantan narapidana koruptor kembali maju sebagai calon legislatif. Bawaslu seolah menyediakan ruang dan peluang bagi kepentingan caleg mantan koruptor.
“Komplikasi ini tidak terlepas dari berbagai ambiguitas ini dimanfaatkan para mantan koruptif untuk mengkhianati demokrasi,” tegas Arif.
Partai politik pun tak jauh berbeda dengan Bawaslu. Satu sisi mereka menyepakati pakta integritas yang disodorkan KPU dan Bawaslu. Namun, di sisi lain parpol tetap mengajukan bacaleg mantan narapidana korupsi.
“Terdapat 199 nama bacaleg mantan koruptor yang kemudian direvisi pencalonannya. Tak mengherankan bahwa kini Bawaslu dan parpol menjadi juru bicara kepentingan caleg mantan koruptor,” ujarnya.
Eks napi korupsi yang diloloskan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai bacaleg terus bertambah. Para eks koruptor ini lolos setelah mengajukan sengketa pencalonan bacaleg ke panitia pengawas pemilu (Panwaslu) daerah.
Sejauh ini sudah ada lima bacaleg yang merupakan eks napi korupsi. Lima bacaleg itu lolos berdasarkan putusan Panwaslu di Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Pare-pare, dan Rembang.
Ketua Bawaslu Abhan mengaku sudah menjalankan aturan undang-undang yang berlaku dalam memutus sengketa bacaleg eks napi korupsi. Dia menilai tak ada ruang koreksi terhadap putusan tersebut lantaran Bawaslu di daerah mengabulkan gugatan pemohon.
“Mekanisme untuk koreksi itu tidak ada kalau putusan seperti itu (dikabulkan). Koreksi bisa dilakukan kalau pemohon ditolak,” tandas Abhan.
(DRI)