Connect with us

Hukum

Siti Napsiyah Ariefuzzaman: Korupsi Dana Desa Merupakan Bagian Dari Pelanggaran HAM

Published

on

Pelaku dugaan korupsi dana desa termasuk di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara telah melanggar HAM. Pakar Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Siti Napsiyah Ariefuzzaman menilai dan meminta penegak hukum mengusut siapa saja pelakunya dan harus dihukum setimpal dengan perbuatannya.

Napsiyah mengatakan hakikatnya tujuan dari dana desa (DD) maupun alokasi dana desa (ADD) untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat desa, meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, membangun desa, hingga menunjang pembangunan yang diselenggarakan pemerintah. Karenanya tutur dia, sangat memprihatikan ketika masih terjadi penyimpangan hingga terjadinya dugaan korupsi.

Menurut Napsiyah, pihak yang diduga melakukan penyimpangan dan korupsi tersebut jelas telah melanggar hak asasi manusia. “Tindakan itu kan bagian dari kriminal. Orang yang merampas hak yang bukan haknya termasuk melakukan (dugaan) korupsi dana desa merupakan bagian dari pelanggaran HAM,” ujar Napsiyah seperti dilansir dari KORAN SINDO, Rabu (6/11/2019).

Dia mengungkapkan, semua pihak tentu memberikan apresiasi yang luar biasa bagi Polri khususnya Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) yang sedang menyidik kasus dugaan korupsi pengajuan, pencairan, hingga penggunaan dana desa (DD) atau ADD untuk 34 desa yang bermasalah dengan 3 desa di antaranya fiktif di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara tahun anggaran 2016-2018. Apalagi, tutur dia, Polda Sultra melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) serta sinergi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Kasus ini harus diungkap sampai tuntas. Atas nama rakyat yang terampas haknya, harus diusut, ditindak siapa saja yang diduga terlibat. Karena harusnya dana itu mengucur dari pemerintah untuk kesejahteraan dan pengembangan masyarakat. Tujuan awal dana desa tersebut adalah harus kembali kan ke masyarakat. Orang yang melakukan penyimpangan harus mendapatkan hukuman yang setimpal,” bebernya.

Napsiyah membeberkan, ada beberapa faktor kenapa masih terjadi penyimpangan dana termasuk yang terjadi di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Pertama, sumber daya manusia lebih khusus di tingkatan desa, pendamping, kelurahan, kecamatan, hingga pemerintah daerah yang belum memiliki kapasitas dan integritas. Kedua, pengawasan mulai dari tahap perencanaan, pencairan, penggunaan, dan penyampaian laporan tidak berjalan efektif dan maksimal.

“Ini kan (diduga) terjadi manipulasi, kongkalikong di hampir semua tingkatan. Idealnya kan proses pengawasan dari hulu ke hilir harus dilakukan,” tandasnya.

Dia menjelaskan, pada aspek pengawasan harus proses monitoring dan evaluasi (monev) terhadap pelaksanaan program dan penggunaan dana desa dilihat dari in put hingga out put. Kalau proses monev berjalan dan dijalankan secara konsisten dan serius, menurut Napsiyah, sangat kecil kemungkinan terjadi penyimpangan di bagian akhir.

“Harusnya sejak awal sistem itu sudah dibangun dan dijalankan. Sehingga preventing (pencegahan)-nya sudah terjadi dari awal, bukan di bagian akhir sehingga out put atau hasilnya benar-benar dirasakan masyarakat,” jelasnya.

Ketiga, Napsiyah membeberkan, penyimpangan hingga indikasi korupsi dana desa terjadi diduga karena pembinaan dan pendampingan oleh pemerintah daerah dan terkhusus pemerintah pusat tidak berjalan sesuai harapan. Kejadian di Kabupaten Konawe, tambah Napsiyah, menunjukkan tidak berjalannya pengawasan dan pembinaan karena para pihak hasil mengandalkan laporan sudah tersalurkannya dana desa.

“Kecolongan di bagian mana, itu harus diusut penegak hukum. Siapa saja yang diduga melakukan atau terlibat. Karena yang paling objektif melihatnya kan penegak hukum,” ucapnya.

Advertisement

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *