Connect with us

Politik

Habiburokhman: Reformasi KUHAP Mewujudkan Penegakan Hukum yang Lebih Berkeadilan

Published

on

Pemerintah, melalui Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Sekretaris Negara, telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kepada Komisi III DPR RI, Selasa (8/7/2025), di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta. RUU ini selanjutnya akan dibahas bersama di DPR RI.

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menjelaskan bahwa RUU KUHAP merupakan langkah penting menuju sistem peradilan pidana yang profesional, akuntabel, dan terpadu. Pembaruan ini sangat dibutuhkan mengingat KUHAP yang berlaku saat ini telah berusia lebih dari 44 tahun sejak diberlakukan pada tahun 1981.

Penyusunan KUHAP yang baru didasarkan pada dinamika hukum dan sosial yang berkembang, termasuk perubahan undang-undang, konvensi internasional, putusan Mahkamah Konstitusi, serta kemajuan teknologi dalam sistem pembuktian. KUHAP yang lama dinilai belum mampu memberikan perlindungan yang memadai kepada warga negara dan masih terlalu menekankan pendekatan pemidanaan retributif.

“Kasus seperti Nenek Minah yang mencuri tiga biji kakao, pencurian kayu jati di Bojonegoro, atau sandal jepit yang dibawa ke pengadilan—semua itu menunjukkan bagaimana KUHAP saat ini kadang gagal memberi rasa keadilan. Hati nurani publik menolak, tapi hukum tetap berjalan. Karena itu, pendekatan keadilan restoratif perlu dihadirkan,” ujar Habiburokhman.

Ia juga menekankan bahwa RUU KUHAP ini akan memperkuat peran advokat dalam mendampingi warga yang berhadapan dengan hukum, serta menjawab maraknya praktik intimidasi dan pelanggaran dalam proses penegakan hukum. Harapannya, pembaruan ini akan menjadikan aparat penegak hukum lebih terbuka, profesional, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Secara garis besar, Habiburokhman memaparkan sepuluh substansi utama dalam 334 pasal RUU KUHAP, yaitu:

  1. Penyesuaian dengan nilai-nilai KUHP baru, yaitu pendekatan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif.
  2. Penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi.
  3. Penguatan peran advokat demi keseimbangan dalam sistem peradilan pidana.
  4. Pengaturan perlindungan hak bagi perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia.
  5. Perbaikan mekanisme upaya paksa yang lebih efisien, akuntabel, dan berbasis HAM serta prinsip due process of law.
  6. Pengaturan yang lebih komprehensif terkait upaya hukum.
  7. Penguatan asas hukum acara pidana berbasis penghormatan HAM melalui prinsip check and balances.
  8. Penyesuaian dengan konvensi internasional, seperti Konvensi Anti Kekerasan, UNCAC, serta regulasi terkait HAM dan perlindungan saksi/korban.
  9. Modernisasi hukum acara pidana dengan prinsip cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel melalui pemanfaatan teknologi informasi.
  10. Revitalisasi hubungan antara penyidik dan penuntut umum lewat pola koordinasi yang lebih setara.

Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy Hiariej, turut memaparkan beberapa poin penguatan utama dalam RUU KUHAP, di antaranya:

  1. Penguatan hak tersangka, terdakwa, dan terpidana.
  2. Perlindungan lebih kuat bagi saksi, korban, perempuan, dan penyandang disabilitas.
  3. Penegasan mekanisme upaya paksa, termasuk penetapan tersangka dan pemblokiran.
  4. Perluasan ruang lingkup praperadilan.
  5. Pengaturan keadilan restoratif secara lebih sistematis.
  6. Pengaturan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan ganti rugi.
  7. Penguatan peran advokat dalam sistem peradilan.
  8. Pengaturan mengenai saksi mahkota (crown witness).
  9. Pengaturan khusus untuk pidana yang dilakukan oleh korporasi.
  10. Penerapan sistem informasi peradilan pidana terpadu berbasis teknologi.

Dengan pembaruan ini, pemerintah dan DPR RI berharap sistem peradilan pidana Indonesia akan lebih responsif terhadap kebutuhan keadilan masyarakat, serta sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum modern.

Advertisement

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *