Connect with us

Opini

Kelembutan Mbah Moen, Kekasaran Gus Baha, Kebingungan Saya

Published

on

Oleh: Chavchay Syaifullah

Pada pertengahan Ramadhan lalu (1441 H), ketika sekelompok kecil manusia sedang sibuk menanti detik-detik kiamat, saya bermimpi bertemu dengan almarhum KH Maimoen Zoebair alias Mbah Moen. Dalam mimpi itu, Mbah Moen sedang berdiri seorang diri di beranda Masjid Kudus dan hendak menyeberang jalan. Ia memakai kain sarung, berkemeja batik kecoklatan, bersurban putih menggantung di leher, dan memegang tongkat. Saya menghampirinya dan mencoba menuntunnya. Lalu kami berjalan berdua menelusuri Kudus yang dalam mimpi itu tampak sebagai kota asri, banyak pohon rimbun yang basah dan jalanan sepi. Suasana seperti habis hujan.

Sampai saat ini saya tidak pernah bermimpi punya rumah di Kudus, tapi dalam mimpi itu rumah saya berada di Kudus, dan saya mengajak Mbah Moen ke rumah saya. Di ruang tamu, Mbah Moen banyak bicara pada saya. Komunikasi kami cukup interaktif. Ia menjelaskan banyak hal dengan ketajaman dan kedalaman ilmu. Namun sebangun saya dari tidur, tak satu pun kalimat Mbah Moen yang saya ingat, kecuali permintaannya agar saya selalu membaca surat al-Ikhlas setiap masuk ke dalam rumah. Untuk permintaan ini, kalimat persisnya pun saya tidak ingat. Setelah lama berbicara di ruang tamu, Mbah Moen pamit dan saya antar sampai sungai di perbatasan kampung. Kami berpisah. Mbah Moen ke alamnya dan saya bangun dari tidur.

Tengah malam itu saya terjaga. Waktu sahur masih lama, maka saya pun mencari aktivitas. Saya membaca ulang puisi-puisi saya. Saya mencari-cari musik yang pas untuk menemani saya membaca puisi di ruang belakang sambil ngopi dan ngerokok seorang diri. Sesekali membuka medsos di HP yang sedang ramai mencibir bahwa kiamat batal.

Saya tahu Mbah Moen cuma dari pemberitaan, karena ia memang seorang ulama masyhur di Indonesia ini, tapi saya tidak kenal dekat. Belum pernah bertatap muka, belum pernah bersalaman, apalagi berguru langsung. Saya mulai mengetahui kedalaman ilmu Mbah Moen dalam percakapan di dalam mimpi saya itu.

Malam itu, pengalaman saya membaca puisi dan mendengar musik jadi terganggu, akhirnya saya hentikan. Saya jadi ingin tahu lebih jauh tentang Mbah Moen. Saya pandangi bolak balik tumpukan buku di rumah saya, mencari buku karya Mbah Moen, tapi tidak ada. Rupanya memang saya belum pernah punya. Saya buka internet, tapi hanya potongan berita-berita yang saya temukan, juga beberapa video potongan ceramah beliau di Youtube. Malam itu saya khatamkan ceramah-ceramah Mbah Moen di Youtube. Setelah khatam, beberapa waktu ke depannya saya malah lebih banyak menemukan ceramah KH Ahmad Bahauddin Nursalim alias Gus Baha di Youtube. Tokoh yang satu ini baru saya ketahui dari penjelasan yang meriah di internet bahwa Gus Baha adalah murid teladan Mbah Moen. Penerus ketokohan Mbah Moen. Saya pun terus menyisir Mbah Moen dari sosok muridnya.

Pada ceramah dua ulama beda generasi ini, saya menangkap kecerdasan yang luar biasa. Erudisinya luas. Mendalami tema dengan penjelasan yang terkadang melompat-lompat, namun terasa sebagai jembatan untuk membangun paradigma baru pada fenomena atau persoalan atau isu yang sedang mereka uraikan. Pikiran-pikiran dua ulama ini tertangkap cukup progresif dan berani. Berpijak pada ilmu pengetahuan dalam kitab-kitab klasik namun tidak melahirkan kebijakan yang skriptualistik. Di tangan dua ulama ini, pingpong sistem pengetahuan yang rigid dan respon terhadap masalah kontemporer menjadi wacana yang segar.

Keluasan pengetahuan dan pengalaman Mbah Moen, membuatnya cukup lihai menarik hipotesis dari beberapa peristiwa yang telah terjadi sebagai peristiwa biasa, namun oleh Mbah Moen dibuat menjadi peristiwa yang punya arti khusus. Terkadang, kalau tidak cukup kritis, ada rentetan upaya Mbah Moen memistifikasi peristiwa-peristiwa. Tapi itu kesan di permukaan, sebab secara umum, ceramah-ceramah Mbah Moen justru lebih banyak menggunakan logika umum, tidak rumit, dan realistis. Pandangan-pandangannya tentang hukum Islam dalam menjawab problem keumatan dan kebangsaan terasa simpel dan mudah diterima, seperti soal dana haji, bunga bank, ideologi Pancasila, makna kemerdekaan RI, kebudayaan Jawa versus Islam, dan sebagainya. Semua topik itu disampaikan melalui ceramah yang lembut, santai, dan terkadang lucu, sehingga kontekstualisasi Alquran dan Alhadits cukup mencerahkan.

Sementara Gus Baha hadir dengan penampilan berbeda. Selain ia tidak mau menggunakan peci putih dan surban, menggunakan kopiah hitamnya pun terkesan asal-asalan. Lebih jauh lagi, hampir dalam setiap ceramahnya yang saya tonton di Youtube, kata-kata kasar seperti goblok, bodoh, kacau dan sebagainya kerap menghiasi penampilan Gus Baha. Tak ketinggalan, Gus Baha kerap mendeklarasikan dirinya sebagai “wong alim” yang tidak boleh disamakan dengan “orang biasa” dan pemimpin “gerakan cangkem elek” terhadap mereka yang usil dengan ajaran ahlu sunnah wal jama’ah. Gus Baha juga kerap tertawa lepas sambil menyindir dan bahkan menjatuhkan mental jamaah pengajiannya. Uniknya, semua itu tidak membuat publik mengesankan Gus Baha sebagai sosok yang sombong dan arogan. Gus Baha tetap dikampanyekan sebagai penerus ketokohan Mbah Moen, meski beda gaya. Bahkan gaya Gus Baha yang nyentrik, ceplas ceplos, dan apa adanya terasa lebih cocok dengan dakwah ala kaum milenial yang meriah di media sosial hari ini.

Di sini saya mendapati kondisi yang menarik dalam satu hubungan guru dan murid. Lebih jauh dari itu, saya mendapati anasir baru, bagaimana arti pembentukan karakter tidak berarti duplikasi prilaku guru bagi muridnya. Misi ketauladanan Mbah Moen ke Gus Baha mungkin bersifat inderawi dan materil, namun sekaligus spirituil. Tentu terjadi transfer pengetahuan melalui proses ajar, namun ada sesuatu lain yang dijalankan guru dalam misinya ke murid, yaitu menabur cinta dan doa.

Doa guru ke murid menjadi pigura yang membingkai nilai-nilai prinsipil dari dalam, sementara nilai-nilai sekunder seperti tampak dalam gaya berpakaian atau gaya berkomunikasi atau gaya bercanda, bergerak bebas namun tidak memengaruhi substansi dari warisan nilai guru ke murid. Hal ini barangkali menjadi hal yang nyaris hilang dari sistem pendidikan kita saat ini, yaitu ketika relasi spiritual guru dan murid tidak terbangun, tidak ada doa dan ketulusan, tidak ada cinta dan kebebasan, maka yang ada adalah formalisme guru ke murid dan lips service murid ke guru. Penampakan prilaku guru dan murid yang sama di permukaan, belum tentu relevan dengan suksesnya pembentukan karakter murid oleh guru. Begitu ya begitu, tapi ya tidak begitu. Di situ ya di situ, tapi ya tidak di situ.

Saya suka sekali mencerna bagaimana Mbah Moen dan Gus Baha menggunakan ilmu tafsir, ilmu manthiq, dan tasawuf sebagai pendekatan terhadap fiqih atau sebaliknya. Dari mereka, saya juga merasakan bagaimana ushul fiqih tidak lagi eksis sebagai bait hafalan alias kaidah baku yang berdiri tunggal, melainkan mencair dan terintegrasi dalam pandangan-pandangan hukumnya. Pada titik ini saya melihat kesamaan Mbah Moen dan Gus Baha dengan jelas. Bedanya cuma ketika Mbah Moen berupaya menyambungkan berbagai disiplin ilmu untuk menghukumi persoalan dengan cukup ketat dan menyampaikannya secara lugas layaknya seorang guru, Gus Baha justru hadir layaknya komentator dengan segudang kritik dan otokritik yang keras seperti palu godam. Ia tahu pentingnya fiqih didekati dengan tasawuf, tapi ia tidak cukup lembut kalau menyerang tasawuf. Ia penghafal Alquran, tapi seringkali ia menyindir para penghafal Alquran, bahkan ia katakan hafalan Alquran tidak ada manfaatnya kalau tujuannya hanya untuk hafalan semata, apalagi sekadar untuk lomba. Otokritik dan kritik keras Gus Baha uniknya cukup diterima jamaahnya dengan baik, sama penerimaannya terhadap penyampaian lembut Mbah Moen oleh jamaah yang masih dalam karakter yang sama.

Kelembutan Mbah Moen dan kekasaran Gus Baha menjadi rahasia saya saat ini. Mereka adalah dua orang cerdas yang saya suka. Sederhana, lugas, tegas, dan berpikiran maju. Untuk memahami pemikiran mereka secara utuh, tentu saya butuh waktu yang cukup membaca teks asli dari karya yang mereka tulis. Saya belum mendapatkan apa-apa yang saya mau. Mudah-mudahan suatu waktu saya bisa temukan.

Terutama Gus Baha, ulama yang masih muda dan cukup punya waktu menulis kitab-kitab yang menancapkan pemikirannya dengan kokoh. Gus Baha punya potensi besar mewarisi generasi masa depan dengan kitab-kitab tafsir yang monumental, seperti Buya Hamka mewarisi Tafsir Al-Azhar dan Quraish Shihab mewarisi Tafsir Al-Mishbah. Gus Baha bisa menulis kitab tafsir seperti itu, karena selain mumpuni, para ulama Indonesia dulu telah banyak melahirkan kitab tafsir bahkan sebelum Buya Hamka dan Quraish Shihab, seperti kitab Tafsir al-Quran karya KH Hasan Mustapa Garut dan kitab tafsir Faidh al-Rahman karya KH Soleh Darat. Pada paruh abad ke-19, kita juga punya ulama tafsir asal Banten, Syeikh Nawawi al Bantani, yang masyhur hingga ke berbagai belahan dunia melalui kitab tafsir Maraah Labiid. Tak terlupakan, dua abad lebih sebelum masa Syeikh Nawawi al Bantani, ulama Indonesia asal Aceh, Syeikh Abdur Ra’uf As Singkel, telah menulis kitab tafsir Turjuman al Mustafid.

Saya percaya Gus Baha bukan tipe ulama yang gila pencitraan di media sosial dan lupa pada kemestiannya melahirkan karya besar dari pengetahuannya yang luas. Para ulama tafsir Indonesia terdahulu, semoga bisa menginspirasi Gus Baha untuk menulis kitab tafsir dengan pendekatan konteks yang lebih mutakhir.

Nahdlatul Ulama (NU), saya yakin sekali, hingga hari ini memiliki banyak ulama unik seperti Mbah Moen dan Gus Baha yang istiqamah membangun bangsa dari kampung, dari tepian. Memajukan bangsa dengan kesederhanaan berpikir dan berprasangka baik dalam setiap hal. Kita perlu mengapresiasinya sebagai upaya melahirkan generasi muda seperti yang dirindukan Imam Abu Hanifah, yakni mereka yang mampu duduk berdiskusi dengan penguasa, mau bertanya pada ulama, dan bisa bergaul bersama ahli hikmah.

Kini, Mbah Moen dan Gus Baha semakin menerbitkan kebingungan baru bagi saya, kebingungan dari kerinduan yang sublim pada jejak langkah para tokoh dalam roman sejarah.

Selamat beristirahat, Mbah Moen!
Selamat berkarya, Gus Baha!

===============
*Chavchay Syaifullah adalah Penyair. Alumni Pesantren Daar el Qolam, Jayanti, Tangerang, Banten dan Pesantren Raudhoh al Hikam, Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Aktivis Persaudaraan Muslimin Indonesia (PARMUSI). Kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Rifa’i Center (RICE).

Advertisement

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *