Pemerintahan
Kembangkan Industri Pertambangan, Perlu Lompatan Produktivitas Berbasis IPTEK dan Inovasi
Konawe Utara, Kabarpolitik.com – Indonesia memiliki limpahan kekayaan sumber daya alam (SDA) di setiap jengkal tanahnya. Namun sayangnya, negara dengan SDA yang berlimpah, apabila tidak bijak mengurusnya, justru berpotensi mengalami kemerosotan ekonomi.
Untuk itulah, menurut Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin, ekstraksi SDA untuk mengembangkan industri pertambangan harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta inovasi, sehingga tidak hanya mampu meningkatkan nilai tambah tetapi juga ramah lingkungan dan mempertahankan aspek keberlanjutan untuk generasi mendatang.
“Peningkatan nilai tambah saja tidaklah cukup, Indonesia membutuhkan lompatan produktivitas berbasis penguasaan ilmu pengetahuan dan inovasi, serta ramah lingkungan,” tegas Wapres saat melakukan Peletakan Batu Pertama Kawasan Industri PT Nusantara Industri Sejati (NIS) Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara, Kamis (19/05/2022).
Sebab, lanjut Wapres, kekayaan bumi Indonesia tidak boleh hanya dinikmati oleh generasi saat ini saja, tetapi harus membawa berkah bagi generasi mendatang.
“Dengan demikian upaya ekstraksi SDA tidak bisa dilakukan secara berlebihan, tetapi dengan memperhatikan aspek keberlanjutan,” tegasnya.
Lebih jauh, Wapres menuturkan bahwa kebijakan hilirisasi sektor pertambangan saat ini menjadi fokus Pemerintah yang bertujuan untuk mengintegrasikan sektor pertambangan dari hulu ke hilir.
“Harapannya sektor ini memberikan nilai tambah yang maksimal dan kemanfaatan yang lebih besar bagi kemakmuran rakyat,” ujarnya.
Namun sekali lagi, kata Wapres, ekonomi dengan peningkatan nilai tambah saja tidak cukup, tetapi juga memerlukan peningkatan produktivitas melalui inovasi dengan pemanfaatan IPTEK.
“Indonesia harus memulai tranformasi dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi inklusif yang mengedepankan partisipasi, inovasi, dan ekologi,” terangnya.
Ia pun mencontohkan suksesnya transformasi ekonomi Korea Selatan melalui strategi kebijakan inovasi yang mengandalkan industri berorientasi ekspor dan didukung dengan sinergi riset serta pengembangan antara industri dan perguruan tinggi sebagai pencetak SDM.
“Pada awal 1970-an, PDB per kapita Indonesia tercatat sekitar 80 Dolar AS dan Korea Selatan sekitar 279 Dolar AS. Namun, Korea Selatan yang bergerak di jalur ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi, PDB per kapitanya melesat hampir 8 kali Indonesia,” ungkapnya.
Pada 2020, sambung Wapres, PDB Korea Selatan mencapai 31.489 Dolar AS, sedangkan Indonesia hanya sekitar 3.869 Dolar AS.
“Saya meyakini apabila Indonesia secara konsisten mengembangkan ekonomi inklusif yang dipadukan dengan hilirisasi industri untuk pemenuhan pasar domestik maupun ekspor, maka kemanfaatan SDA bagi kesejahteraan rakyat akan dapat terwujud,” pungkasnya.(EP, BPMI-Setwapres)