Connect with us

Opini

Melihat Pemilu di Turki

Published

on

Achmad Baidowi

Oleh: Achmad Baidowi

(Sekretaris Fraksi PPP DPR RI/Pengajar Prodi HTN STAI Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan)

Republik Turkiye (Turki) baru saja menyelenggarakan pemilu yang demokratis pada Minggu (14/5). Sebuah hajatan demokrasi yang digelar di era sulit Presiden Recep Tayyip Erdoğan.

Setelah memerintah dalam 20 tahun terakhir (2003-2014 sebagai perdana menteri dan 2014-2023 sebagai presiden), kali ini Erdogan dihadapkan pada situasi sulit. Hantaman badai krisis ekonomi, bencana gempa pada Februari 2023 dan tekanan dari oposisi membuat Erdogan terjepit.

Terlepas dari hasil pemilu yang diumumkan oleh Yuksek Secim Kurulu (YSK/KPU-nya Turki), dalam tulisan ini akan mengulas pengalaman menyaksikan pemilu di negara bekas kesultanan Ottoman tersebut.

Saya bisa memantau pemilu di Turki secara tidak sengaja. Saat itu, sedang perjalanan menuju Buenos Aires untuk acara kedinasan. Umumnya delegasi memilih rute via Dubai, UEA ataupun Doha, dan Qatar, sementara saya sendiri memilih rute via Istanbul dengan maskapai Turkish. Sesuai jadwal kami transit di Bandara Internasional Istanbul sekitar 5 jam.

Mulanya, sekitar tiga jam setelah take off dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta dengan fasilitas WiFi saya mencoba membuka sejumlah situs pemberitaan online. Yang dicari adalah informasi terkini di negara transit maupun di negara tujuan untuk mendapatkan sedikit gambaran situasi di sana. Saat itulah, saya baru tahu jika pelaksanaan pemilu di Turki pada 14 Mei 2023.

Tak mau ketinggalan momentum, saya langsung menghubungi Ade, salah staf KJRI Istanbul untuk mendapatkan informasi singkat mengenai pemilu di Turki dan lokasi TPS terdekat yang bisa dijangkau. Berdasarkan informasi dari Ade KJRI, rupanya di Bandara Istanbul terdapat dua TPS yang disiapkan KPU untuk mengakomodir warga Turki yang hendak bepergian dengan pesawat. Segera setelah urusan imigrasi selesai, saya diajak Ade ke bandara umum untuk melihat dari dekat pelaksanaan pemilu.

Lokasi pertama yang didatangi adalah TPS di lantai 2 yang berada di bekas lokasi pengambilan sampel PCR. Di tempat ini ada sejumlah bilik suara disiapkan seperti halnya di Indonesia. Para petugas cukup sigap mempersilahkan WN Turki yang hendak menyalurkan suaranya. Di sudut ruangan terdapat meja yang dijaga oleh dua orang polisi Turki untuk mengamankan pemungutan suara. Seperti halnya di Indonesia, para pemilih pertama kali langsung datang ke meja registrasi. Mereka menunjukkan paspor, boarding pass, dan identitas kependudukan.

Setelah mendapatkan surat suara, calon pemilih masuk ke bilik suara untuk menentukan calon presiden dan calon anggota parlemen yang hendak dipilih. Begitu selesai, mereka memasukkan pilihannya tersebut ke kotak suara yang sudah disiapkan.

Lokasi kedua bertempat di lantai 3 bandara yang memanfaatkan tempat pemeriksaan barang bawaan penumpang (metal detector) yang sedang tidak dioperasikan. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan lokasi di lantai 2. Panitia memberi penanda arah lokasi TPS sehingga memudahkan penumpang. Meski demikian, tidak boleh sembarangan mengambil gambar karena harus seizin petugas. Jika mengambil gambar tanpa izin, maka petugas akan menghampiri dan mengecek foto-foto yang sudah diambil.

Omèr, salah seorang petugas keamanan setempat menuturkan bahwa TPS bandara sudah berdiri sejak dua minggu dan beroperasi 24 jam. Sehingga para warga Turki yang hendak ke luar negeri (LN) dalam kurun waktu tersebut bisa menyalurkan hak politiknya di bandara. Antusiasme warga Turki untuk menggunakan hak pilihnya cukup tinggi.

Tercatat sekitar 88,9% dari 64,1 juta pemilih menggunakan suaranya. Bagi mereka, satu suara sangat penting untuk menentukan arah perjalanan bangsa. Seperti yang disampaikan Yunus, salah seorang petugas bandara yang kebetulan mendapatkan tugas shift pagi. Yunus berencana menyalurkan hak pilihnya di kota Istanbul, setelah selesai kerja.

Dua Putaran

Sebagaimana hasil pemilu yang diumumkan YSK, Pilpres Turki digelar dua putaran karena tidak ada kandidat yang meraih suara di atas 50%. Sesuatu yang belum pernah terjadi di Turki. Pihak oposisi yang diprediksi unggul dalam satu putaran ternyata tak sesuai ekspektasi. Dalam pemilu yang dibayangi isu campur tangan Amerika Serikat dan Rusia ini, ternyata posisi Erdogan masih unggul. Meskipun sejumlah jajak pendapat memprediksinya kalah telak dari Kemal Kilicdaroglu dari oposisi.

Pertarungan dua kutub politik ini sangat diametral, yakni kutub islamis dan sekuler. Bahkan AKP, partai besutan Erdogan bersama koalisinya, memperoleh kursi mayoritas di parlemen. Erdogan yang sudah memegang kendali pemerintahan selama 20 tahun dikenal sebagai politik beraliran Islam konservatif namun terbuka terhadap foreigner, khususnya dari negara-negara muslim. Setidaknya hal itulah yang dirasakan para diaspora Indonesia di Istanbul. Sebaliknya pihak lawan mencoba kembali mengembalikan Turki ke era sekuler.

Mereka umumnya ingin mengembalikan warisan politik Kemal Attaturk, sehingga kelompok ini menyebut dirinya sebagai Kemalisme. Kelompok Erdogan kontra LGBT, sementara penentangnya pro LGBT. Meski demikian, Turki sebenarnya menjamin hak-hak LGBT sejak tahun 1858. Dibanding negara Islam lainnya, Turki lebih liberal dalam hal kebijakan. Bahkan setiap Juni digelar Istanbul Pride atau Gay Pride sejak 2003. Pada Juni 2022 saya sempat melihat pawai LGBT di kawasan Taksim Square, meskipun akhirnya kepolisian Turki membubarkan parade.

Di luar dua kandidat yang bersaing ketat, ada capres Sinan Ogan yang memilih narasi anti-imigran dan anti-Kurdi. Pada putaran pertama, Sinan Ogan meraih sekitar 5,4% suara. Maka tidak heran, jika langkah politik Sinan Ogan pada putaran kedua 28 Mei mendatang sangat menentukan. Adapun capres Muharrem Ince mundur ketika pemilu kurang beberapa hari.

Jika melihat konfigurasi politik di Turki, sebenarnya koalisi yang terbangun tidak selalu berdasar kesamaan ideologis. Misalnya, AKP yang beraliran Islam konservatif, berkoalisi dengan Partai Gerakan Nasionalis (MHP) yang secara ideologis justru dekat dengan partai oposisi Cumhiriyet Halk Partisi (CHP). Adapun pada koalisi CHP terdapat partai beraliran garis kanan keagamaan, Partai Saadet, yang memiliki kesamaan ideologi politik dengan AKP.

Memperkuat Sistem Kepartaian

Geliat dominasi AKP dan Erdogan ini sebenarnya menggeliat sejak setahun terakhir ketika dimulai launching pencalonan kembali Erdogan di Adana, kota di sisi tenggara Turki. Pada pertengahan Mei 2022, saya selaku Ketum PP GMPI bersama sejumlah pemuda partai di dunia berkesempatan hadir di sana. Saya menyaksikan langsung betapa euforia anak-anak muda AKP yang tergabung dalam AK Parti Gençlik Kollari dalam berpolitik.

Tidak seperti di Indonesia yang cenderung apatis akibat gerakan deparpolisasi oleh sejumlah pihak. Padahal seharusnya yang dilakukan adalah memperkuat sistem kepartaian seperti yang dilakukan Turki dan sejumlah negara lainnya. Karena sumber rekrutmen kepemimpinan itu dari partai politik. Dalam negara demokrasi, partai politik adalah sebuah keniscayaan. Namun, anehnya justru parpol dimusuhi dan didegradasi.

Sekembalinya ke Tanah Air, saya berkesempatan transit di Istanbul selama 9 jam. Waktu tersebut saya manfaatkan untuk melihat situasi masyarakat Istanbul usai pemilu putaran pertama sekaligus melihat persiapan untuk putaran kedua. Masyarakat menyambutnya dengan biasa saja tidak terlibat dalam konflik berkepanjangan. Bagi mereka tugasnya adalah menyalurkan hak politik ke TPS. Mereka tak peduli dengan propaganda, berita hoaks, dan fitnah. Terlebih pemerintah Turki mengontrol ketat penggunaan media sosial.

Tentu ini berbeda dengan Indonesia yang masyarakatnya cukup bebas berselancar di media sosial.

Di negara kita, siapapun boleh menghujat pejabat publik termasuk presiden di media sosial. Bahkan jauh hari sebelum pemilu, persaingan yang cenderung tidak sehat itu sudah diproduksi. Konfrontasi antara ‘cebong’ dan ‘kampret’ sejauh ini masih dominan menghiasi lini media sosial.

Di satu sisi kita bangga dengan kebebasan berekspresi di media sosial, namun di sisi lain prihatin masyarakat Indonesia tidak cepat move on dari perbedaan politik, meskipun para aktor-aktor politiknya sudah menyatu dalam pemerintahan. Harapannya, delapan bulan menuju Pemilu 2024, percakapan media banyak dihiasi oleh kampanye yang sehat yakni kampanye, produktif dan inovatif menawarkan gagasan. Bukan kampanye hitam bahkan cenderung hoaks dan fitnah.

Selain itu, keberadaan partai politik diharapkan mendapat kepercayaan yang kuat dari publik sebagai salah satu sumber rekrutmen calon pemimpin. Semoga.

Advertisement

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *