Opini
PKB adalah Wujud Kaderisasi Mandiri NU

Oleh: Sonny Majid
Proses kaderisasi bukan hanya soal materi dalam kelas, jika mengacu kepada kemandirian proses kaderisasi yang dilakukan warga Nahdlatul Ulama (NU) tak lain adalah terbentuknya sekaligus pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang kemudian KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden RI. Sekali lagi itulah perwujudan kaderisasi ya tataran praksis.
Kenapa PKB menjadi instrumen kaderisasi mandiri bagi kalangan NU, lihat saja logo NU dan PKB. Jika NU ada tali yang longgar, sementara PKB tidak ada talinya, selebihnya sama. Kenapa lambang PKB tidak ada talinya, hal itu menjelaskan PKB adalah partai terbuka.
Sementara tali paa logo NU setidaknya menggambarkan kelonggaran/ tidak kaku dalam konteks penerapan ajaran agama (Islam). Jika ada hal baru lebih baik maka boleh digunakan, namun sesuatu yang lama masih baik juga boleh dipakai. Kira-kira penafsiran awan saya begitu.
Maka warga NU yang ideologis sudah pasti partainya PKB (sebagai wujud kaderisasi mandiri). Dengan demikian pragmatisme bukanlah jalan ideologi NU, jalan ideologi NU adalah perkhidmatan.
Keberadaan PKB sekaligus mewakili politik Aswaja (Ahlussunnah Waljamaah) Annahdliyyah. NU dan PKB adalah dua lembaga pengorganisiran Aswaja (Annahdliyyah) itu sendiri. Membuktikan hanya di Indonesia ajaran Aswaja diorganisir, tidak sebatas menjadi sebuah paham yang dibiarkan alami berkembang. Salah satu contoh negara dimana Aswaja dominan tapi tidak diorganisir, pada akhirnya hancur adalah Mesir.
Oleh karena itu NU harus mempertahankan dan mengembangkan diri sebagai organisasi gerakan, bukan organisasi dominan elitis. NU harus menjadi kekuatan bathin (illahiyah) bagi bangsa dan negara. NU harus terus menjadi “shadow” NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Bagaimana dengan PKB sebagai wadah berpolitik warga NU, tegasnya visi politiknya harus mengarah kepada upaya perbaikan. Kesabaran, ketabahan dan ketangguhan harus menjadi prinsip bagi kader-kader PKB.
Karena dengan prinsip itu, visi politik menuju perbaikan bisa terwujud. Kenapa bukan politik kekuasaan, karena jika ada perbaikan pasti ada kekuasaan. Kenapa bukan gerakan politik perubahan (reformatif)? Karena hasil dari perubahan bisa baik bisa buruk, masih spekulasi.
Dengan visi politik perbaikan, maka yang dibangun adalah kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan-kerusakan. “Rahmatan lil alamiin” – rahmat bagi seluruh alam.”
Seumpama dalam politik basis kepentingannya individu/kelompok maka cenderung saling bertabrakan. Maka warna gerakan politik dilakukan secara dinamis, setidaknya meminimalisir benturan/menghindari benturan.
“Ini yang menjadi misi. Sebagai partai politik tidak boleh kehilangan prinsip dan ideologinya.”
