Connect with us

Opini

Mengkanalisasi Anies Baswedan

Published

on

Oleh: Sonny Majid

Wacana duat Anies Baswedan – Gus Muhaimin sebenarnya bukan barang baru bagi saya pribadi. Bongkar pasang pasangan capres – cawapres pada pilpres 2024 mendatang, tak terkecuali mengenai duet ini sudah beberapa waktu lalu kerap dibicarakan dalam berbagai kesempatan diskusi santai.

 

Indikator pertamanya adalah, bahwa di belakang Gus Muhaimin ini hari ini, ada sosok Eep Saefullah Fatah, sebagai konsultan politik. Sementara di Pilkada Jakarta 2017 silam kita tahu Eep adalah sosok di belakang Anies Baswedan selaku konsultan pemenangan.

 

“Ibarat kata, jika deadlock, maka Anies – Gus Muhaimin bisa saja dipersandingkan. Karena sama-sama barang Eep,” kira-kira begitulah. Banyak pihak yang terlibat diskusi kala itu.

 

Itu indikator awal ya. Indikator lainnya, rentetan kejadian bongkar pasang capres-cawapres ini tidak berdiri sendiri. Bisa saja ini bagian dari rangkaian “kelompok kepentingan” yang gagal menggulirkan skema awal, yakni penundaan pemilu dengan alasan “force majeure.”

 

Selanjutnya skema kedua, perpanjangan masa jabatan presiden tiga tahun. Jika rangkaian ini benar adanya, maka saya lebih sepakat menyebutkan “kegentingan yang memaksa,” sebagai alasan.

 

Isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden mendapat penolakan banyak pihak. Ditambah lagi bisa jadi “ongkos politiknya” lebih besar, karena harus melalui mekanisme konstitusional melalui parlemen, dan alotnya lobi.

 

Jalan terakhirnya, mau tidak mau adalah “mendesain capres-cawapres” dalam satu kendali. Sejak awal saya pribadi secara subjektif mencurigai, deklarasi Anies Baswedan oleh Partai Nasdem adalah bagian dari “kanalisasi” figuritas Anies yang kala itu dianggap sebagai antitetis kekuasaan. Di sisi lain, kebetulan Anies juga pernah terlibat dalam pembentukan sejumlah organisasi sayap partai Nasdem.

 

Meski skenario ini “dibayar mahal” karena salah satu menteri dari Partai Nasdem terlibat dugaan kasus korupsi. Memang harus ada yang dikorbankan dalam politik kita di Indonesia yang cenderung traksaksional.

 

Sinyalemen itu sebenarnya saya yakin, publik sudah tahu. Bagaimana hampir semua parpol memanfaatkan nama “kekuasaan” untuk melakukan tarian politik. Oleh sebab itu menjadi sesuatu yang aneh, ketika Partai Nasdem mencapreskan Anies Baswedan, namun kekuasaan tidak mengganti posisi menteri. Ini sebenarnya menjadi wujud nyata, bahwa ada “perjanjian” antar-keduanya.

 

Dugaan sementara upaya “mengakanalisasi” Anies Baswedan ini, bisa berujung pada langkah-langkah selanjutnya.

 

Semisal, jika ada tiga paket capres-cawapres, maka satu paket harus dikalahkan, sehingga tetap pada putaran keduanya paket yang kalah dalam putaran pertama itu akan menumpahkan suaranya kepada salah satu paket yang bertarung di putaran kedua.

 

Dan ingat, putaran kedua ini, paket-paket capres –cawapresnya, masih dalam satu kendali “pengocok sekaligus pembagi kartu.” Siapapun pemenangnya nanti, tetap dibawah kendali.

 

Adalagi, asumsi, jika tetap dua pasangan calon, maka pada akhirnya nanti, semuanya akan kembali dalam pelukan salah satu kandidat capres yang dipersiapkan. Hanya saja, untuk melepaskan diri harus mengambil skenario pemaketan pasangan capres-cawapres.

 

Kok bisa begitu? Sekali lagi saya ingatkan kembali, bahwa beberapa tulisan saya mengulas, bahwa pilpres 2024 itu soal “bundelan” investasi di Ibukota Nusantara (IKN) yang nilai investasinya mencapai ribuan triliun ditambah lagi kepentingan distribusi dan konsumsi Nikel. Bagaimana dengan investasi IT, itu hanya bagian dari beberapa hal pokok tadi.

 

Terkecuali, ada kecualinya, meski agak keblinger, Amerika Serikat dan Eropa melakukan penetrasi/tekanan yang luar biasa, bisa jadi Anies Baswedan presiden ke depan.

 

Jadi, apapun perkembangan peta politik hari ini dan nantinya, saya kembali teringat pesan seorang karib, bahwa kita semua sedang bekerja untuk “oligarki.” Heeeh….

 

Oh..ya bagaimana dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat? Tinggal dilihat sejauh mana mereka bertahan menjadi oposisi, yang telah mengalami “kekeringan” hingga 10 tahun lamanya.

 

Kemungkinan-kemungkinan pasangan capres-cawapres:

 

Ganjar – Kyai Said Aqil Siroj/Mahfud MD/Sandiaga Uno,

Prabowo – Erick Thohir,

Anies – Gus Muhaimin.

Kita tunggu saja perkembangannya

Advertisement

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *