Nasional
Bom Kuningan 2004 di Mata Penyintas dan Pentingnya Peran Persuasif Ulama
TANGGERANG— Salah seorang korban bom Kuningan yang berhasil selamat, Nanda Olivia Daniel, mengisahkan peristiwa terjadinya bom Kuningan pada 2004 lalu.
Hal itu dia sampaikan saat tampil sebagai narasumber dalam acara Ngaji Kebangsaan: Optimalisasi Islam Wasathiyah dalam mencegah Ektremisme dan Terorisme di Aula MUI Tanggerang, Kamis (17/11/2022).
Dalam kegiatan yang digelar Badan Penanggulangan Ekstremisme Terorisme MUI dan MUI Tangerang itu, Nanda mengaku telah telah memaafkan pelaku bom Kuningan tersebut.
“Saya menyadari semarah apapun saya, sekalipun saya diberikan kesempatan untuk balas dendam, itu semua tidak akan mengembalikan tangan saya seperti semula,” kata dia.
“Tak akan dapat mengembalikan anak SMA tersebut, dan korban lainnya,”sambungnya.
Menurut ceritanya, bom kuningan tersebut luar biasa dahsyatnya, karena bisa dilihat dari jarak kedutaan ke posisinya yang waktu itu kurang lebih 200 meter dari kejadian, dan itu posisinya pun menyamping. Akan tetapi bom tersebut berhasil meluluh lantakkan Kuningan saat itu.
Sejak kejadian itu, jika dia mendengar soal ledakan bom atau cerita tentang teroris, dia kerap menangis.
“Saya begitu trauma dengan kejadian itu. Bahkan dari 2004 hingga 2015, saya tidak pernah bisa meluapkan perasaan saya kepada siapapun,” ucapnya.
“Ketika saya diajak bercerita tentang bagaimana ledakan bom itu berlangsung pun, baru setengah jalan saya sudah menangis,” jelasnya.
Akhirnya dia tidak pernah sampai selesai menceritakan peristiwa tragis itu. Baru pada 2015, dia bertemu dengan Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Di sanalah dia mulai secara perlahan mengobati traumanya.
“Aliansi Indonesia Damai (AIDA) ini memfasilitasi pertemuan dengan para teroris yang terlibat dengan aksi pengeboman di sejumlah tempat di Indonesia. Termasuk dengan para pelaku aksi teror yang melukainya,” tuturnya.
Peran ulama
Sementara itu, dalam sambutannya, Ketua BPET MUI, Muhammad Syauqillah, mengatakan, peran ulama di akar rumput menjadi sangat penting dalam mencegah aksi terorisme dan ekstremisme.
Menurutnya, para ulama, kiai, ustadz dan ustadzah memiliki energi yang positif yang bisa ditularkan pada jamaahnya.
“Saya yakin sudah pada Islam Wasathiyah, sudah sangat rahmatan lil alamin, jauh dari ekstremisme dan terorisme. Makanya energi yang positif di para kiai semua itu perlu ditularkan ke generasi muda,” ujarnya.
Apalagi, ungkapnya, tantangan sekarang ini lebih berat karena aksi terorisme melibatkan anak perempuan.
Jabodetabek, ujarnya, menjadi menarik karena kasus terorisme di Jakarta pelakunya tinggal di Bekasi, Bogor maupun Tangerang.
Dia menegaskan, energi positif dari para kiai, ustadz dan ustadzah sangat krusial untuk ditularkan bagi jamaahnya agar dapat mencegah aksi terorisme dan ekstrimisme.
Dia mengingatkan, bila terjadi perbedaan agar jangan dimusuhi, tetapi diajak berdialog. “Dan kembalikan pada Islam wasathiyah yang menjadi ciri keislaman yang ada di Indonesia,” ujar dia.
Ketua MUI Kota Tangerang, KH Ahmad Baijuri Khotib, mengatakan tokoh- tokoh agama di Kota Tanggerang membentuk Forum Benteng Toleransi. Hal ini salah satu ikhtiar dan upaya agar Kota Tanggerang terhindar kebencian-kebencian sehingga menimbulkan radikal, radikal naik menjadi ekstrem dan ujungnya menjadi teroris.
“Beragama itu membutuhkan ketenangan, kedamaian ketika kita berpijak disatu tempat, di satu negri misalnya dalam persoalan haji, haji itu menjadi wajib hukumnya ketika dalam perjalananya negri tujuan kita berhaji ke Arab Saudi itu dianggap aman, bebas dari radikalisme, tidak ada terorisme di sana,” jelas Kiai Ahmad.
Kiai Ahmad juga menyampaikan bahwa hal tersebut seperti dalam ibadah sholat, tidak mungkin bisa sholat dengan khusyu kalau kemudian kampung atau kota di negeri kita sedang dilanda peperangan akibat kebencian- kebencian.
Dari kegiatan ngaji kebangsaan ini KH Ahmad berharap dapat menambah wawasan bagi para tokoh yang ada dilingkungan masing-masing.
(Ratna/Sadam Al-Ghifari/ Nadilah, ed: Nashih)
[MUI]