Politik
Kepercayaan Diminta Menulis 100 Tahun GKJ Klaten
Oleh: Gantyo Koespradono
Bacaleg DPR RI Partai NasDem Dapil Jawa Tengah 5 (Kota Surakarta, Kabupaten Klaten, Boyolali dan Sukoharjo)
MANAKALA Tuhan berkehendak dan memerintah umat-Nya, tidak ada alasan bagi siapa pun, termasuk saya, untuk menolak-Nya, termasuk ketika Gereja Kristen Jawa (GKJ) Klaten, Jawa Tengah akan merayakan hari jadinya yang ke-100 tahun atau satu abad.
Serba kebetulan? Saya beriman, di dalam Tuhan tidak ada yang serba kebetulan. Ini sekaligus sebuah kehormatan. Lebih kurang sebulan lalu, saya dikontak Cahyoputro, Ketua Panitia 100 Tahun GKJ Klaten.
Atas referensi Roesmanto, kakak kandungnya, yang kebetulan satu gereja dengan saya di GKJ Tangerang, Cahyo meminta saya menulis buku tentang “sejarah” GKJ Klaten yang pada Juli 2024 nanti berusia 100 tahun.
Sulit bagi saya untuk menolak, sebab saya memang terbiasa menulis dan menyunting (sebagai editor) sejumlah buku. Terakhir, saya membantu menulis dan menyunting buku “Dwi Windu GKJ Pamulang”. Gereja ini ada di Kota Tangerang Selatan.
Bersama beberapa kawan, sampai saat ini saya juga masih menyunting serial buku yang bersumber dari Forum Diskusi Denpasar 12, sebuah diskusi mingguan yang digagas dan dimotori Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat.
Sedikitnya 10 buku sudah kami rampungkan dari forum diskusi yang setiap diskusi menghadirkan orang-orang penting dan narasumber yang berkompeten di bidangnya (sosial, politik, ekonomi, lingkungan, hankam dan sebagainya).
Oleh sebab itu aneh rasanya kalau saya dengan berbagai alasan menolak permintaan dari GKJ Klaten. Kebetulan pula Klaten bagi saya punya kenangan tersendiri.
Sewaktu saya kecil, saya kerap mengunjungi rumah eyang Mangoen Soesanto, adik kakek kami. Rumah Mbah Klaten — panggilan akrab eyang Mangoen Soesanto — berada tidak jauh dari GKJ Klaten.
Soal penulisan buku satu abad GKJ Klaten menjadi tantangan tersendiri buat saya. Ini menarik. Pasalnya usia gereja itu lebih tua dari umur Republik Indonesia yang pada 2023 baru berusia 78 tahun.
Bayangkan gereja ini lahir tahun 1924. Empat tahun sebelum para pemuda dari berbagai daerah mengikrarkan Sumpah Pemuda.
Namun, sebelum kelahirannya, cikal bakal gereja sudah dimulai tahun 1910 saat orang-orang Kristen di zamannya akan melakukan kegiatan mengabarkan Injil.
Setelah melalui berbagai usaha dan perjuangan selama 20 tahun, pada tahun 1910, permohonan orang-orang Kristen mengabarkan Injil di Surakarta akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Jenderal setelah ada rekomendasi dari Sri Susuhunan X dan Sri Mangkunagoro VI.
Berdasarkan buku “64 Tahun Gereja Kristen Jawa Klaten” yang diterbitkan Majelis GKJ Klaten tahun 1988, pada tahun 1910-an, jumlah orang Kristen di Klaten hanya 20-an orang.
Setelah kesempatan mengabarkan Injil diizinkan, maka Gereja Kristen Amsterdam di Belanda pada 1912 mengutus Pdt Dr H.A. Van Andel ke Nusantara sebagai pendeta utusan untuk daerah Surakarta dan sekitarnya (termasuk Klaten). Yang bersangkutan ditahbiskan sebagai pendeta pada 1913.
Dari sana lahirlah para guru injil lokal. Saya menduga kakek kami, Mangoen Soesanto, dalam perjalanan berikutnya, juga berprofesi sebagai guru Injil.
Dalam perjalanan berikutnya, sampailah ke tahun 1924. Pada tahun itu, Pdt Van Andel mengungkapkan gagasan bahwa gereja yang digembalakannya perlu membentuk majelis gereja sendiri untuk daerah Klaten.
Maka pada 6 Juli 1924 dibentuklah Majelis GKJ Klaten pertama yang waktu itu populer dengan sebutan “Pradataning Pasamuwan Kristen Djawi”.
Pada tahun itu juga GKJ Klaten didewasakan dengan jumlah jemaat 60 orang, termasuk anak-anak dan warga keturunan Tionghoa.
Waktu itu, GKJ Klaten belum punya gedung gereja. Ibadah Minggu dilakukan di rumah warga bernama Ia Tampinongkol dan menumpang di sekolah Kristen di Klaten.
Jemaat GKJ Klaten baru memiliki gedung setelah orang-orang Kristen di Belanda mengumpulkan persembahan dan disumbangkan ke GKJ Klaten.
Pada 1928, jemaat GKJ Klaten pun, mulai membangun gedung gereja sendiri di Kampung Klaseman. Di gedung gereja inilah umat Kristen Jawa leluasa beribadah sampai sekarang di saat gerejanya memasuki usia yang ke satu abad.
(WH)