Politik
Obon Tabroni dan Koalisi Ojol Nasional Tegaskan Status Ojol sebagai Mitra, Bukan Pekerja

Anggota Komisi IX DPR RI, Obon Tabroni, bersama Koalisi Ojol Nasional (KON) menegaskan bahwa pengemudi ojek online (ojol) bukan pekerja atau buruh, melainkan mitra. Penegasan ini menyikapi dukungan Pemerintah Indonesia terhadap Konvensi ILO terkait perlindungan pekerja platform digital, termasuk pengemudi ojol.
“Dulu saya sempat bingung karena ada aspirasi yang ingin menggolongkan ojol sebagai pekerja. Namun setelah berdiskusi dengan Koalisi Ojol Nasional, saya menyadari bahwa ojol memang mitra, bukan buruh,” ujar Obon, Kamis (12/6/2025).
Sebagai anggota tim perumus revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Obon menegaskan pihaknya masih menyerap aspirasi dari komunitas ojol, yang menurutnya berbeda pandangan dengan organisasi buruh.
Sementara itu, Ketua Umum Koalisi Ojol Nasional, Andi Kristiyanto, menolak keras dukungan terhadap Konvensi ILO. Ia menilai keterlibatan ILO dalam isu ojol sebagai bentuk intervensi terhadap kedaulatan Indonesia.
“ILO tidak punya urusan dengan nasib ojol di Indonesia. Ojol bukan buruh, bukan pekerja. Kami tolak intervensi ILO,” tegas Andi.
Ia juga menyoroti adanya pihak-pihak yang mengklaim mewakili komunitas ojol demi kepentingan tertentu. Karena itu, KON meminta pemerintah dan DPR tidak terpengaruh oleh narasi tersebut.
Melalui pernyataan resmi dan petisi, KON menyampaikan empat tuntutan utama:
- Hentikan politisasi isu ojol oleh elit politik dan pejabat negara.
- Tolak status ojol sebagai pekerja tetap.
- Tolak rencana pemotongan 10 persen tanpa kajian yang berdampak negatif bagi mitra pengemudi.
- Tolak kepentingan pribadi/kelompok yang mengatasnamakan ojol.
Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara), Agung Yudha, turut memperingatkan dampak penerapan Konvensi ILO di Indonesia. Ia menyebut kebijakan tersebut bisa memicu hilangnya pekerjaan, menurunkan pendapatan jutaan UMKM yang bergantung pada platform digital, serta meningkatkan pengangguran.
“Pemaksaan reklasifikasi mitra menjadi karyawan akan menggerus fleksibilitas sistem digital dan mengganggu stabilitas ekonomi nasional,” kata Agung.
Ia juga menambahkan, efek domino dari kebijakan ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, menimbulkan gejolak sosial-politik, serta mengurangi kepercayaan investor dalam dan luar negeri, khususnya di tengah ketidakpastian ekonomi global.
