Pemerintahan
Pindah Ibu Kota Negara, Indonesia Belajar dari Pengalaman Negara Sahabat

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menganggap biasa pem kpcahan ibukota negara. Ia menunjuk contoh, dalam 100 tahun ini sudah ada 30 negara yang sukses mem kpcahkan ibu kotanya.
“Di antara 30 negara yang sukses mem kpcahkan ibu kotanya adalah Brasil (Brasilia), Malaysia (Putrajaya), Korea Selatan (Sejong), Kazakhstan (Astana), dan Australia (Canberra). Sedangkan negara besar lainnya seperti Mesir, Iran dan Liberia sedang dalam tahapan membangun ibu kota barunya,” kata Bambang dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk “P kpcah Ibu Kota Negara: Belajar dari Pengalaman Negara Sahabat”, di Jakarta, Rabu (10/7) pagi.
Bahkan, lanjut Bambang, sejarah mencatat setiap 3-4 tahun sekali terjadi pem kpcahan ibu kota negara. Dan kini, dalam 2 (dua) tahun sekali terjadi perp kpcahan ibu kota negara.
Karena itu, menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas itu, Indonesia bisa belajar dari negara yang memiliki kesamaan padahal tempatnya jauh seperti Brasil, yang sama-sama negara anggota G-20.
Brasil dan Indonesia, jelas Bambang, dikenal sebagai memiliki PDB terbesar. Wilayah Indonesia dan Brazil juga masuk terbesar di dunia. Indonesia adalah negara kepulauan. Brasil adalah negara kontingen.
“Pem kpcahan ibu kota bukan hal baru, sering dilakukan juga oleh berbagai negara. Salah satunya adalah Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia,” ungkap Bambang.
Mengenai pembelajaran positif dari pem kpcahan ibu kota di negara-negara tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menguraikan, pertama, pembelajaran dari Brasil yaitu dengan motivasinya untuk memperbarui kebanggaan nasional dengan membangun ibu kota yang modern di abad 21. Selanjutnya meningkatkan kesatuan nasional dengan membuka lahan kosong di tengah-tengah Brasil.
Pem kpcahan ibu kota Brasil ini, lanjut Bambang, juga tidak meremehkan resiko politik kebutuhan untuk mempercepat penyelesaian pembangunan dalam 5 (lima) tahun mengakibatkan kompromi yang serius dari rencana awal.
Perhitungan yang realistis terhadap biaya, jelas Bambang, menjadi kunci utama dimana land value di Brasilia naik lebih lambat dari yang diperkirakan, mengakibatkan pengeluaran pemerintah yang sangat besar untuk membangun kota baru.
Selanjutnya merencanakan untuk peduduk dari semua lapisan masyarakat.”Perencanaan telah disusun dengan baik, namun pelaksanaan yang tergesa-gesa mengakibatkan penjualan superblok tidak teratur dan berpihak kepada penawar tertinggi,” tambahnya.
Lalu menanamkan modal investasi pada infrastruktur nasional.”Infrastruktur dapat memberikan dampak positif terhadap pemerataan pembangunan,” pungkas Bambang Brodjonegoro. ( kpc)
