Connect with us

Opini

Politisasi Agama: Kesesatan yang Dianggap Sebuah Perjuangan Kebenaran

Published

on

Hasanudin_Ketua_Jaros_24

Jaros 24, Ikhtiar Membangun Perekat Bangsa

Oleh: Hasanudin (Ketua Umum Jaros 24)

Menjelang perhelatan politik 2024, dinamika perdebatan politik semakin menghangat. Terlihat gejala politisasi agama ( Menurut Syafii Maarif adalah penggunaan agama untuk tujuan politik tanpa moral, etika dan akal sehat) akan kembali terjadi seperti pada pemilu 2014 dan 2019 dan pilkada DKi 2017. Energi masa kembali akan terbelah.

Mulai timbul konten perdebatan di media massa dan media sosial antar kelompok masyarakat. Mengulangi aksi silang pandang dengan melibatkan narasi berbasis simbol agama. Menciptakan polarisasi di tengah masyarakat Indonesia. Membludaknya jamaah shalat iedul fitri 1443 H di sebuah tempat tertentu yang bukan masjid tapi kemudian disakralisasi sebagai cermin citra religius figur tertentu yang dianggap layak untuk menjadi pemimpin nasional. Mengabaikan logika dan pertimbangan yang lebih penting yakni prestasi dan kinerja -makna kesalehan sejati menurut Nurcholish Madjid- dari sang tokoh sebagai basis rasional yang seharusnya menjadi dasar pemilihan atas pemimpin nasional.

Nampaknya aksi politisasi agama pada 2024 akan kembali digunakan oleh para politisi oportunis perusak bangsa untuk mendapatkan kursi kekuasaan dengan mengorbankan tenun kebangsaan. Bagi sang politisi tersebut, tidak penting itu persatuan dan kesatuan negara, yang penting baginya adalah kekuasaan. Sialnya, para politisi itu juga menggunakan narasi kebangsaan dan keindonesiaan dengan culas untuk membungkus birahi kekuasaannya. Seperti bunglon yang mencoba ‘menyamakan’ warna kulitnya dengan warna kulit mayoritas umat yang lugu. Menipu dan meninabobokan umat. Yang juga tak disadari umat bahwa para politisi oportunis ini dapat menari bekerjasama dengan para petualang politisi global untuk mencapai kepentingan bersama. Yakni politisi domestic dapat memperoleh kursi kekuasaan dan pada saat yang sama misi politisi global dapat memasukan paham dan madzhab agamanya agar dapat diterima dan dianut oleh mayoritas umat di Indonesia. Sehingga Indonesia nenjadi surga bagi tumbuh dan berkembangnya paham tertentu yang bercorak intorelan dan radikal.

Di tengah gelora antusiasme umat akan sebuah tema politisasi agama, mereka tak mengetahui arah politik sang politisi oportunis yang sebenarnya. Karena kebanyakan umat terlalu lugu, kurang baca dan kurang kritis terhadap narasi manipulatif sang politisi oportunis. Seakan sang politisi oportunis sedang memperjuangkan misi suci agama yang dianut mayoritas umat padahal sejatinya sang politisi sedang memperjuangkan birahi kekuasaannya dengan menunggangi dan memanfaatkan term dan simbol agama. Buktinya, sejatinya agama memerintahkan umat untuk mempererat persatuan, sang politis malah menggunakan politik SARA yang memecah belah bangsa dan umat. Agama memerintahkan umat untuk bersikap santun dan beradab, sang politsi malah memicu umat untuk saling membenci satu dengan yang lain. Agama memerintahkan umat untuk menghargai seseorang karena prestasi dan kinerja yang baik, sang politis malah memanipulasi prestasi dan kinerjanya dengan citra politik yang kosong. Agama memerintahkan umat untuk merealisasikan nilai-nilai agama, sang politis malah memanfaatkan simbol/kulit agama untuk mencapai kekuasaan pribadinya belaka. Tak peduli atas implementasi nilai-nilai agama seperti keadilan, kejujuran, penghormatan atas kemanusiaan, kesetaraan, musyawarah, menyeru pada kebaikan dan lain-lain.

Masyarakat yang lugu dihipnotis dan dimanipulasi kesadarannya oleh politsi oportunis bahwa mereka sedang memperjuangkan ajaran suci agama yang sedang dijalankan sang politisi. Kemudian umat antusias mendukung ambisi sang politisi yang dianggapnya sedang memperjuangakn misi suci agama padahal sejatinya sedang mengingkari dan melanggar ajaran agama. Sang politisi membangun narasi sesat menyesatkan, kafir mengkafirkan sesama saudara seiman. Padahal tindakan itu dilarang agama. Karena tuduhan sesat dan kafir atas seseorang yang tidak terbukti sesat dan kafir maka julukan itu akan kembali kepada dirinya sendiri (hadis riwayat Imam Bukhori). Sang politisi menciptakan iklim saling menistakan antar kelompok yang berbeda dan sikap intoleran terhadap kelompok lain. Padahal tindakan itu dilarang oleh agama. Tidak peduli dengan nasib persatuan dan kesatuan bangsa dengan memberi angin pada tumbuh-kembangnya kelompok radikal yang hendak mengganti dasar negara dan menghancurkan negara kesatuan Republik Indonesia. Padahal agama memerintahkan umat untuk memegang teguh perjanjian yang telah disepakti bersama seperti perjanjian antar para pendiri bangsa dan negara untuk mendirikan dan mempertahankan eksistensi negara Indonesia. Sang politisi mentoleril dan mengkondisikan aksi radikalisme dan terorisme dengan mengusulkan pembubaran lembaga yang bertugas mengatasi terorisme seperti Densus 88, padahal agama melarang umat untuk membiarkan dan melakukan kerusakan di muka bumi.

Maka pada akhirnya, ketika politisasi agama menjadi sebuah cara yang dianggap sebagai aksi untuk meperjuangkan kebenaran itu lebih disebabkan oleh keluguan dan kenaifan umat. Padahal sejatinya politisasi agama adalah sebuah tindakan yang menyesatkan. Berkhianat atas ajaran suci agama sekaligus atas berkhianat atas kesepakatan para pendiri bangsa dan negaranya. Dapat mengakibatkan dosa karena dapat menciptakan terjadinya kekacauan dan kesengsaraan kehidupan umat manusia seperti apa yang terjadi di Sudan, Mesir, Syuriah, Irak , Yaman dan Afagnistan.

Untuk itu bagi umat yang merasa sedang memperjuangkan agama harus bersikap kritis introspektif, apakah perjuangannya itu dilakukan berdasarkan kesadaran untuk menegakkan nilai-nilai agama? Atau lebih karena dibuai oleh manipulasi birahi kekuasan sang politisi oportunis yang rela mengorbankan inti ajaran agama dan keutuhan bangsa dan negara demi memuncaknya ejakulasi pencapaian kekuasaan? Semoga Allah melindungi Indonesia sebagai rumah bersama antar umat dan semua komponen bangsa sehingga berproses mencapai layaknya negeri Saba dalam Al Quran, yakni negeri Baldatun thoyabatun warobbun Ghofuur. Wallahu alam Bshowwaab.

Advertisement

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *