Connect with us

Politik

RUU PPRT Memberikan Lebih dari Sekadar Perlindungan

JAKARTA (28 Agustus): Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) menawarkan lebih dari sekadar perlindungan bagi pekerja rumah tangga dan pekerja sektor informal.

Penuntasan pembahasan RUU PPRT merupakan pekerjaan rumah yang penting, karena saya khawatir tidak selesai. Semua pihak harus mengupayakan agar RUU ini bisa tuntas, atau paling tidak bisa dilanjutkan pembahasan ke periode selanjutnya,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Bedah RUU PPRT: Implementasi BPJS Ketenagakerjaan dalam Melindungi Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Pekerja Sektor Informal yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (28/8).

Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan Irma Suryani (Anggota Komisi IX DPR RI), Anwar Sanusi (Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan), Hartoyo (Jaringan Komunitas untuk BPJS Ketenagakerjaan), dan Lita Anggraini (Jala PRT) sebagai narasumber.

Selain itu hadir pula Triyono (Peneliti Pusat Riset Kependudukan – BRIN) sebagai penanggap.

Menurut Lestari, hadirnya UU PPRT merupakan sebuah keniscayaan, meski mekanisme perlindungan yang diperjuangkan RUU PPRT itu sebetulnya masih banyak yang perlu mendapat perhatian dan campur tangan para pemangku kepentingan agar mewujudkan jaminan sosial yang bisa diaplikasikan kepada para PRT dan pekerja sektor informal.

Per 2024, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari Moerdijat, cakupan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan kelompok pekerja bukan penerima upah terbilang rendah, yaitu 11% dari total pekerja informal yang sebesar 82,67 juta orang.

Salah satu kendalanya, tambah Rerie yang juga Legislator NasDem dari Dapil Jawa Tengah II (Demak, Kudus, Jepara) itu, karena program jaminan sosial ketenagakerjaan tidak dikenal, pemberi kerja enggan mendaftarkan pekerja sebagai peserta penerima manfaat.

Menurut Rerie, para pemberi kerja harus mampu memahami, mengerti dan menerapkan sejumlah mekanisme jaminan ketenagakerjaan kepada para pekerjanya.

Kriteria pekerja yang dikelompokkan menjadi penerima upah dan bukan penerima upah, tambah anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, juga menjadi bagian dari kendala yang dihadapi para PRT untuk mendapatkan hak dan perlindungan.

Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani mengungkapkan, sejak awal RUU PPRT yang disampaikan Jala PRT tidak sama dengan pengaturan PRT yang diterapkan di luar negeri.

Namun, ujar Irma, sampai saat ini banyak pihak yang khawatir bahwa RUU PPRT akan melahirkan peraturan ketenagakerjaan yang tidak mudah untuk diterapkan di dalam negeri.

Akibatnya, tambah dia, sampai saat ini para PRT di Indonesia belum mendapatkan mekanisme perlindungan yang layak.

Dampaknya, jelas Irma, pekerja migran dari Indonesia bila mendapat permasalahan di luar negeri akan sulit untuk mengatasinya.

Terkait proses pembahasan RUU PPRT, tambah Irma, perlu dorongan yang kuat dari para pemangku kepentingan agar dapat dilanjutkan pembahasannya pada periode keanggotaan DPR selanjutnya.

Sekjen Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi mengungkapkan, pada tahun lalu pihaknya optimistis bahwa pembahasan RUU PPRT akan segera menjadi UU. Namun, tegas Anwar, karena terjadi sejumlah dinamika di parlemen, sampai hari ini pembahasan RUU PPRT masih tersendat.

Menurut Anwar, sampai saat ini masih terjadi kekosongan pengaturan di sektor ketenagakerjaan informal, seperti pada PRT.

Anwar menilai kehadiran UU PPRT sangat terkait dengan upaya membangun sistem perlindungan sosial ketenagakerjaan.

Pada RUU PPRT, jelas Anwar, antara lain diatur kesepakatan dan perjanjian kerja dalam kerangka hubungan kerja, yang membuat hak dan kewajiban pekerja dan pemberi kerja menjadi jelas sebagai dasar untuk mewujudkan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi para pekerja informal.

Pegiat Jaringan Komunitas untuk BPJS Ketenagakerjaan, Hartoyo mengungkapkan kelompok pekerja informal, termasuk PRT, sering mengalami penolakan saat mengajukan klaim BPJS Ketenagakerjaan.

Para pekerja informal, tambah Hartoyo, kerap terkendala dalam memenuhi persyaratan klaim, seperti surat keterangan dari pemberi kerja atau tidak memahami prosedur klaim.

Hartoyo mendorong agar segera direalisasikan kemudahan prosedur klaim bagi para peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Aktivis Jala PRT, Lita Anggraini berpendapat para PRT selain mendapatkan jaminan tenaga kerja, seharusnya juga mendapatkan jaminan kesehatan. Karena, jelas Lita, pada dasarnya semua pekerja mengalami risiko yang sama terkait kesehatan mereka.

Dalam skema jaminan sosial ketenagakerjaan, menurut Lita, setidaknya PRT mendapatkan jaminan hari tua (JHT), jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kesehatan (JK).

Lita menyayangkan, upaya PRT untuk mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan secara lengkap sangat alot.

Padahal, tegas Lita, premi yang harus dibayar oleh pemberi kerja agar PRT-nya dapat perlindungan yang memadai, terbilang terjangkau.

Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN, Triyono berpendapat, jaminan sosial ketenagakerjaan itu merupakan hak dasar yang harus diterima setiap warga negara. Namun, tambah dia, di Indonesia masih banyak permasalahan jaminan sosial yang dihadapi para pekerja.

Menurut Triyono, mendorong RUU PPRT untuk segera menjadi UU merupakan langkah besar untuk menekan angka kemiskinan.

Triyono menyarankan untuk melakukan sosialisasi yang masif terkait jaminan sosial ketenagakerjaan bagi para pekerja sektor informal.

Pada kesempatan itu wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat apa yang disarankan Irma untuk memberi dorongan kuat terhadap keberlanjutan pembahasan RUU PPRT sangat realistis.

Saat ini, tegas Saur, upaya untuk menjadikan RUU PPRT sebagai RUU carry over untuk bisa dilanjutkan pembahasannya pada periode keanggotaan DPR mendatang merupakan langkah yang penting.(*)

Advertisement

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *