Politik
Ngotot Majukan Eks Koruptor Nyaleg, Ucapan dan Perilaku Partai Tak Sejalan
Kabarpolitik.com, JAKARTA – Pasca keputusan Mahkamah Agung (MA) mencabut peraturan KPU No.20/2018 yang salah satu pasalnya melarang mantan napi korupsi, narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak untuk mencalonkan diri dalam Pileg 2019 terus menuai polemik. Keputusan MA ini sejalan dengan putusan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu).
Putusan MA ini seperti angin segar kepada para calon-calon legislative yang pernah terangkut kasus hokum, baik korupsi, narkoba hingga kejahatan seksual. Menanggapi putusan ini, pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing mengatakan, putusan MA ini sebagai ujian bagi partai-partai politik dalam membuktikan komitmen mereka dalam memberantas korupsi di Indonesia.
“Makanya apa yang diucapkan dan dilakukan tidak sama, artinya mereka mengatakan komitmen memberantas korupsi, sementara mereka masih mengajukan calonnya yang mantan narapidan korupsi, jadi tidak sejalan dengan perilaku. Perilaku dalam hal ini masih tetap mencalonkan, itu kan masih perilaku, inkonsistensinya,” kata Emrus kepada Fajar Indonesia network lewat sambungan telpon, Jumat (21/9).
Direktur Emrus Corner ini menuturkan, publik tak bisa mengharapkan banyak dari partai politik untuk memberantas korupsi di Indonesia selama mereka masih mengajukan mantan terpidana korupsi sebagai calon legislatif. Bahkan, akademisi Universitas Pelita Harapan (UPH) ini menyarankan agar partai politik tak berlindung dibalik UU yang membolehkan warga negara mencalonkan diri menjadi calon legislatif.
“Jadi kita tidak bisa mengaharap banyak dari partai politik yang akan menjadi garda terdepan dalam memberantas korupsi, Kalau memang mereka punya komitmen kuat memberantas korupsi, mereka tidak boleh berlindung diatas UU. Katakanlah hak daripada anggota narapidana itu, cuman karena dia sudah menjalani hukuman dan lain-lain.,” ucap Emrus.
Tokoh asal Sumatera Utara ini melanjutkan, alasan calon legislatif sudah menjalani hukuman atas perbuatannya bukan satu alasan untuk mengajukan eks koruptor bukanlah satu komitmen partai dalam memberantas tindakan korupsi. Lanjut Emrus, partai politik harus berkaca dari komitmen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan aparat penegak hukum TNI/Polri yang konsisten untuk tidak tergabung dalam partai politik semasa masih berstatus aktif.
“Jadi komitmen itu harus, misalkan kenapa PNS tidak boleh ikut partai, akhirnya kita putuskan tidak ikut berpartai, mereka hanya punya hak suara. Kenapa misalnya TNI/Polri tidak punya hak suara karena ini soal komitmen kan, nah harusnya partai punya komitmen kalau memang mau berantas korupsi, siapapun kadernya tidak boleh maju menjadi calon dan harus ditarik oleh partai,” jelas Emrus.
Menurut Emrus, ada beberapa alasan kuat partai politik enggan menarik anggotanya yang tercatat sebagai eks koruptor lantaran bersangkutan memiliki kekuatan dalam partai, baik dari sisi pengaruhnya hingga bersangkutan memiliki kekuatan logistik. Seharusnya, kata Emrus, partai mendorong kader-kader yang idealis dan tidak memiliki masalah hukum, terkhusus korupsi.
“Kuat dalam konteks bargaining posetion itu bisa karena dia pengurus, bisa karena dia adalah orang berpengaruh di partai itu, karena kader-kader di bawah adalah orang-orangnya dia, bisa juga dia mempengaruhi grupnya dia jadi pengurus di DPP atau DPD. Bisa juga karena kekuatan losgislitk, jadi kekuatan itu banyak hal. Saya sederhana melihatnya, kalau memang mereka tidak kuat, saya pikir sudah tergusur itu,” pungkasnya.
“Coba bayangkan, mantan koruptor duduk di lembaga terhormat, andaikan menang, terus mereka kan dewan terhormat yang latar belakangnya tak terhormat, itu luar biasa. Kenapa dia tetap, karena orang kuatlah, saya hal itu tak terbantahkan, karena di partai itu masih banyak yang idealis, partai tidak kehabisan kader,” sambungnya.
Putusan MA ini juga tak bisa digugat, lantaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri tidak memiliki kekuatan hukum dalam penerapkan PKPU terkait dengan pelarangan eks koruptor, bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak karena tidak memiliki kekuatan hukum. Seharusnya, kata Emrus, KPU sebelumnya mengusulkan dibuatkan UU atas terkait pelarangan tersebut, biar memiliki kekuatan hukum. “KPU harus mengusulkan UU atas putusan mereka terkait pelarangan itu,” ujarnya.
Tak hanya itu, Emrus juga mengakui masalah ini tidak bisa diintervensi lebih jauh oleh Presiden Joko Widodo, karena dia (Jokowi-red) tidak bisa mencampur lebih jauh masalah partai politik. Namun, dengan saran Presiden untuk menandai eks koruptor dalam surat suara sangat baik bagi pemilih.
“Saya kira saran yang baik, tapi saya mengatakan itulah yang bisa dilakukan Presiden, karena bila dia katakan tidak boleh masuk dan mencampuri partai. Jadi hanya sejauh itulah yang bisa dikatakan oleh Presiden. Kalau Presiden mengatakan tarik, ngga boleh juga karena sama saja dituding intervensi partai, jadi memang sebatas itulah kekuatan atau pengaruh yang dimiliki oleh Presiden, sehingga itulah yang dilakukannya, jadi sesuatu positif,” pungkasnya.
“Menurut saya dengan keterbatas yang dimiliki Presiden dilakukan itulah yang maksimal. Terpenting sebenarnya adalah partai menarik karena dia punya kekuasaan. Kedua, partai boleh tidak menarik karena sicalon ini kuat di partai. Sederhananya, kalau dia tidak kuat, toh calon yang ga korupsi dmajukan, mereka kan tidak kehabisan kader kan,” tutupnya.
Data Komisi Pemilihan Umum mencatat ada 36 caleg mantan narapidana kasus korupsi yang mencalonkan diri di Pemilu Legislatif 2019 mendatang. Mereka terdiri dari 12 caleg di DPRD Provinsi dan 24 caleg di DPRD tingkat kabupaten/kota. Puluhan caleg mantan narapidana kasus korupsi tersebut diajukan 7 partai politik di tingkat DPRD Provinsi yaitu Gerindra , Golkar, Berkarya, Perindo, hanura, PAN, dan PBB. Sedangkan di DPRD kabupaten/kota yaitu Demokrat, Gerindra, Golkar, PAN, Nasdem,PKP, Berkarya, PDI-P, PKS, dan Perindo. (Aiy/Fajar)