Politik
Sahroni Terima Aduan Terkait Anak Korban Perceraian
JAKARTA (4 September): Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, menerima audiensi Perkumpulan Pejuang Anak Indonesia (PPAI), di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/9).
Mereka mengadukan permasalahan terkait hak asuh serta kekosongan hukum atas anak korban perceraian. PPAI mengadukan adanya diskriminasi terhadap anak seusai proses perceraian.
“Mudah-mudahan dengan pengaduan ini kita bisa teruskan kepada pihak terkait, dan saya akan speak up sampai kepada Pak Presiden, untuk diberikan perhatian khusus tentang apa yang menjadi pengaduan Perkumpulan Pejuang Anak Indonesia,” kata Sahroni.
Legislator NasDem itu mengaku berempati terhadap perasaan orang tua yang memperjuangkan anaknya tersebut.
“Mudah-mudahan pak Presiden bisa memerintahkan langsung apa yang menjadi hak seorang ibu bisa diberikan atensi lebih jauh kepada Mahkamah Agung, kepolisian, kejaksaan dan kepada Kementerian Hukum dan Ham,” ujarnya.
Lebih lanjut, kata Sahroni, aduan tersebut juga akan disampaikan secara terbuka dalam Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Kapolri pada sore hari ini, Senin (4/9). Ia berharap, pemerintah segera memberikan atensi terhadap persoalan hak asuh anak korban perceraian di seluruh Indonesia.
“Mungkin persoalan ini belum terekspos lebih besar, maka perhatian pemerintah, perhatian Presiden belum kedengaran. Saya coba mem-blow up tentang apa yang terjadi, bagaimana aturan pengadilan yang sudah inkrah tetapi tidak dijalankan,” imbuh Sahroni.
Sebelumnya dalam audiensi, perwakilan PPAI Angelia Susanto menyampaikan harapannya untuk dibentuk payung hukum bagi anak yang menjadi korban perceraian. Salah satu atensi Angelia yaitu, adanya sanksi pidana bagi orang tua yang melakukan pemisahan anak dengan orang tua secara paksa.
Secara rinci, Angelia berpendapat kasus penculikan anak oleh orang tua merupakan salah bentuk kriminalitas karena melanggar hak asasi anak maupun orang tua yang memperoleh hak asuh yang diputuskan oleh pengadilan.
“Dari segi hukum, sayangnya kasus ini tidak dianggap sebagai kasus penculikan. Ini dianggap sebagai masalah domestik. Jadi lembaga negara yang kami laporkan tidak mempunyai instrumen untuk memproses dan menindaklanjuti ataupun menghukum,” ungkap Angelia.
Angelia menilai fenomena kasus pemisahan paksa anak korban perceraian ibarat gunung es, karena tidak jarang masyarakat yang ingin bersuara.
“Kalau ini tidak dibuat kriminal dengan hukumannya yang jelas, maka lebih banyak yang akan berani melakukan karena tidak bermasalah dan akan dilakukan berulang-ulang. Kami memohon agar Komisi III DPR bisa memasukkan agenda penculikan anak oleh orang tua kandung di dalam Undang-Undang. Titipan kami mungkin di RUU KIA (Kesejahteraan Ibu dan Anak) yang sudah ada di prolegnas dan kami harap tahun ini bisa diproses,” ujarnya.
(dpr.go.id/*)