Politik
Ahmad Muzani: Perempuan Berperan Strategis dalam Mewujudkan Indonesia Emas 2045

Ketua MPR RI, Ahmad Muzani menegaskan pentingnya peran perempuan dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan dan memperkuat kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai bekal menuju Indonesia Emas 2045.
Pernyataan itu disampaikan Muzani saat membuka seminar bertajuk “Kepemimpinan Perempuan untuk Indonesia Maju dan Sejahtera” yang diselenggarakan Korps HMI-Wati (KOHATI) melalui Forum Alumni HMI-Wati (Forhati), di Kompleks Parlemen, Jakarta, Sabtu (24/5/2025).
Menurutnya, Indonesia telah menunjukkan kemajuan dalam partisipasi perempuan sejak awal kemerdekaan. Ia mencontohkan sosok Siti Soendari, hakim perempuan pertama Indonesia yang diangkat Presiden Soekarno pada 1954.
“Banyak perempuan yang sejak awal telah ambil peran sebagai anggota DPR, menteri, bahkan hakim. Ini menunjukkan komitmen bangsa terhadap emansipasi,” ujar Muzani.
Sekjen Partai Gerindra itu juga mengapresiasi kiprah anggota Forhati yang dinilainya aktif berkontribusi di berbagai bidang seperti pendidikan, sosial, dan politik.
“Pengorbanan ibu-ibu Forhati nyata. Mereka rela meninggalkan keluarga untuk hadir dan memberikan perhatian pada bangsa,” ungkapnya.
Muzani juga menyoroti tantangan ke depan, terutama terkait rendahnya kualitas SDM. Ia mencatat bahwa rata-rata pendidikan masyarakat Indonesia masih di tingkat SMP, dan hanya sekitar 10 persen yang menempuh pendidikan tinggi.
“Ini menjadi hambatan besar menuju negara maju. Karena itu, partisipasi semua pihak, termasuk perempuan, sangat penting dalam peningkatan kualitas SDM,” katanya.
“HMI dan KOHATI harus tetap memegang nilai-nilai perjuangan,” tegas Muzani.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Himmatul Aliyah yang hadir sebagai narasumber menekankan pentingnya perempuan meningkatkan kapasitas dan tak terpengaruh stigma atau pandangan yang merendahkan.
“Jangan mau dilemahkan. Jawablah semua keraguan dengan prestasi,” ujar legislator Partai Gerindra tersebut.
Himmatul menyayangkan keterwakilan perempuan di DPR RI yang masih di bawah 30 persen, dengan hanya 127 dari 580 kursi diisi perempuan. Ia menilai sistem pemilu belum sepenuhnya berpihak pada afirmasi keterwakilan gender.
Ia menutup dengan pesan bahwa ruang pengabdian perempuan sangat luas, tidak hanya di parlemen, tetapi juga di berbagai sektor strategis lainnya.
