Connect with us

Opini

Akankah Pemilu 2024 Gunakan Metaverse?

Published

on

Sonny Majid, Pembelajar dari Lingkar Kaji Isu-Isu Strategis

Oleh: Sonny Majid

Akankah Pemilu 2024 menggunakan Metaverse, sebagai alternatif pilihan, lantaran ribut-ribut penundaan pemilu, dengan alasan menghemat anggaran negara, pasca-penanganan Covid-19?

Perkembangan teknologi sebenarnya sudah diprediksi sejak lama. Hal ini tergambar oleh Thomas L. Friedman, yang mana menyebut bahwa “dunia menjadi datar,” – the world is flat.

Oleh banyak kalangan, sejak kali pertama munculnya BlackBerry sebagai pioner telepon pintar, menandakan akan terjadi perubahan drastis seluruh aspek kehidupan. Kehadiran BlackBerry ini dianggap bahwa dunia memasuki revolusi teknologi.

Selang tak terlalu lama, BlackBerry tergerus dengan ponsel berbasis android, yang mengandalkan layar sentuh. Kemudian muncul hologram dan ini pernah digunakan saat kampanye Pilkada Kota Solo, dimana salah satu kandidat, Gibran Rakabuming menggunakan teknologi ini sebagai media kampanye. Ia tak perlu berkunjung ke banyak lokasi. Cukup diwakili menggunakan hologram. Inilah yang latah disebut sebagai “revolusi kuantum.”

Perkembangan teknologi digital berbarengan dengan menjamurnya perusahaan-perusahaan start-up yang menawarkan kemudahan masyarakat sebagai konsumen dalam melakukan transaksi jual beli, pembayaran dan lainnya hanya cukup dengan menekan keypad ponsel. Uang kartal yang biasanya digunakan sebagai alat transaksi, kini secara perlahan mulai digantikan dengan uang digital.

Munculnya pandemi Covid-19, seakan-akan “memaksa” percepatan perubahan dunia konvensional menuju dunia virtual. Masyarakat yang dulu belum terbiasa bekerja di rumah, mau tidak mau mulai sekarang harus beradaptasi. Kini banyak perusahaan tak perlu repot-repot untuk menggelar rapat, cukup video conferensi menggunakan aplikasi semacam Zoom, Google Meet, dan lainnya.

Hayalan yang menjadi nyata tentang datangnya dunia virtual sebenarnya sudah tergambar jelas bagi kita yang merupakan pencinta film. Sebut saja “Ready Player One” besutan sutradara Steven Spielberg. Film itu menyajikan kala manusia hidup dalam dunia virtualnya diwakili oleh masing-masing avatarnya. Film ini digarap ulang dan ditayangkan Netflix.

Dengan digantinya nama Facebook menjadi Meta, semakin memperkuat perubahan cepat ke arah itu (virtual). Meta menggagas ide metaverse, Salah satu konsep yang ditawarkan adalah kegiatan-kegiatan produksi nyata, beralih ke produksi virtual yang menggunakan uang digital yang telah disepakati sebagai alat transaksinya.

Presiden Jokowi saat membuka Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 di Lampung, sempat mewanti-wanti kehadiran metaverse. Awalnya Presiden Jokowi menyinggung tema Muktamar NU “Berkhidmat untuk Peradaban Dunia.” Presiden Jokowi katakan, peradaban itu harus kita yang mempengaruhi, agar mashlaha bagi manusia di dunia, khususnya di Indonesia.

Nanti dakwah virtual, pengajiannya virtual, kayak kita bertemu seperti ini, bukan seperti sekarang yang masih vicon (video conference), ujarnya waktu itu. Ia sempat menyinggung pertemuannya dengan Mark Zuckerberg. Dalam pertemuan itu, ia bermain tenis meja ala virtual bersama dedengkot Meta tersebut. Presiden Jokowi mewanti-wanti agar hati-hati menyikapi metaverse, butuh adaptasi-adaptasi.

Metaverse sebuah platform berbasis “Virtual and Augmented reality (VR/AR), ini menjadi metafisik gaya baru, dan kini menjadi tantangan tersendiri. Mita Idhatul Khumaidah dalam sebuah artikelnya menyebutkan, para agamawan perlu menyiapkan diri untuk menghadapi dunia metaverse. Misalnya, bagaimana prinsip penerapan aturan-aturan agama. Sudah barang tentu ini sangat rumit, pelik. Karena metafisik yang dihadapi adalah avatar manusia itu sendiri – penggunanya.

Belum lagi tantangan anak muda penggiat moderasi dan literasi, baik itu moderasi beragama, literasi digital dan lainnya mau tidak mau harus berjibaku dengan metaverse sebagai sarana menggali pengetahuan dan mengampanyekan nilai-nilai keluruhan, kebangsaan, toleransi dan lain-lain.

“Nah, ke depan, pelaksanaan Pemilu 2024, penggunaan metaverse bisa menjadi alternatif cara, jika alasan penundaan yang sempat ramai diperbicangkan dimaksudkan memangkas anggaran. Metaverse bisa menjadi pilihan ajang kampanye para calon legislatif, calon presiden dan wakil presiden. Bila perlu sebagai ajang sosialisasi tahapan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).”

Setelah Meta, perusahaan-perusahaan raksasa teknologi seperti Apple, Google dan Microsoft dikabarkan juga tengah membangun metaverse-nya. Entah baru sadar atau tidak, perusahaan raksasa teknologi seperti merasa ketinggalan dari perusahaan game dan hiburan seperti Fortnite, Roblox, Niantic dan Decentraland yang lebih dulu mengembangkan metaverse.

Metaverse tampil sebagai revolusi internet

Ada sebuah riset yang menunjukkan, bagaimana Metaverse bermanfaat signifikan kepada kehidupan manusia yang menyediakan ruang tanpa batas. Metaverse diprediksi bakal menjadi gaya hidup masa depan yang efisien. Bayangkan saja, jika koneksi antarmanusia dalam waktu kapanpun tanpa mengenal batas geografis.

Sangat diyakini, ke depan para perusahaan penyedia layanan metaverse akan memberikan kepada para pengguna ke berbagai platform sambil membawa avatarnya masing-masing secara fleksibel.

Indonesia sendiri dianggap market place terbesar untuk kawasan Asia Pasifik, Tentu kita pernah melihat pemberitaan mengenai Syahrini. Penyanyi “cetar membahana” ini meluncurkan non fungible token (NFT) berhijab. NFT adalah aset digital yang bisa berbentuk karya seni, pakaian, video dan lainnya. Bahkan koleksi seni digital berbentuk avatar dirinya ludes terjual hanya dalam hitungan jam.

NFT yang berbasis blockchain itu disebut-sebut sangat amat dan sulit dipalsukan. Oleh karena itu, fenomena metaverse diramalkan mendisrupsi ekonomi digital. Contoh lainnya di Institut Pertanian Bogor (IPB) membentuk “Blockchain, Robotics and Artificial Intelligence Network (BRAIN) yang bertransformasi menjadi Meta-BRAIN.

Sedangkan untuk fitur jual beli tanah virtual, digarap sejumlah platform metaverse lainnya seperti Decentraland dan Sandbox yang menggunakan uang kripto sebagai alat transaksinya. Kemudian tanah-tanah yang sudah dibeli di atasnya bisa dibangun properti yang bisa dijual atau kemudian disewakan.

Kripto adalah mata uang yang terkena imbas positif atas kehadiran metaverse. Nilai kripto milik Decentraland – MANA- yang melonjak ketika Samsung membuka toko virtualnya. Kenaikan tersebut sebesar 20 persen, semua 2,73 menjadi 3,27 dollar AS. Kini banyak pebisnis tertantang berjibaku ke metaverse, karena dianggap bisnis digital masa depan.

NFT juga sebagai bentuk dukungan karya pencipta independen. Beberapa pihak mulai tertarik dengan gagasan pengambilan aset digital yang bisa disalin oleh siapapun dan klaim kepemilikan.

Dengan demikian, hal itu bisa menghasilkan jutawan dan miliarder kripto yang mendiversifikasi kepemilikan bitcoin dari NFT, dan menciptakan peluang usaha di era metaverse.

Ini artinya, penggunaan metaverse adalah pengambilan keputusan cerdas. Ini sangat diperlukan untuk bidang-bidang kehidupan, seperti ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, militer, dan sebagainya.

Dengan kehadiran metaverse ini, Indonesia sudah berani mengambil sikap untuk meningkatkan infrastruktur digital dan virtual. Kemudian sama-sama membangun kesadaran tentang fakta tengah terjadi revolusi internet.

Yang tak kalah penting, sudah harus ada regulasi – kebijakan – peraturan yang spesifik terkait keamanan data. Harus ada kombinasi antara tradisi masyarakat kita, dengan peran pemerintah dalam membangun kesadaran digital dan virtual tadi.

Tarung raksasa teknologi Cina dan AS

Pertarungan dunia internet baik digital maupun virtual berangkat dari ketika Cina memproklamirkan diri mendesain Jalur Sutra Maritim Abad 21 yang bernama Digital Silk Road (DSR). Tujuannya tak lain adalah menggapai konektivitas komunikasi internasional dan mendorong internasionalisasi perusahaan-perusahaan teknologi Cina yang kian pesat.

Sekadar diketahui, di 2017 saja, bisnis e-commerce Cina memenuhi 42 persen pasar global. Raksasa teknologi Cina seperti Alibaba dan Tancent mengalami kenaikan valuasi, bersaing dengan raksasa perusahaan teknologi AS. Raksasa teknologi Cina mendapat dukungan politik dari Pemerintah Cina. Hal ini bisa terlihat dari agenda Pemerintah Cina mengembangkan teknologi 5G yang bahkan sudah dipersiapkan 6G, kecerdasan buatan, internet industri, big data dan komputasi awan. “Lembah data besar” Cina kini tengah dibangun di Guiyang, ibukota provinsi Guizhou.

Sejak awal raksasa teknologi Cina sudah menjadi investor utama start-up dan e-commerce di kawasan Asia Tenggara. Bagaimana Alibaba mengoperasikan perusahaan e-commerce berbasis di Singapura, Lazada Group yang menghitung aktif pengguna bulanan tertinggi di Malaysia, Filipina, Vietnam dan Thailand. Tancent dan Didi Chuxing telah membenamkan investasinya di Grab, Go-Jek.

Kemudian Alipay memasuki pasar Asia Tenggara menjajaki pasar pembayaran elektronik. Ant Financial, perusahaan induk Alipay, melakukan campuran yang sedemikian agresif, merger, akuisisi maupun kemitraan. Di Thailand dengan Ascend Money, di Indonesia bersama Emtek, dan di Filipina dengan Mynt.

Membaca gempuran itu, perusahaan-perusahaan raksasa AS (geng Silicon Valley) Meta, Google, Apple dan Twitter tak mau kalah. Mereka mewarnai persaingan pasar bersaing dalam transaksi digital tersebut. Dan kini Meta mendorong metaverse.

Kemajuan dunia digital yang telah beralih ke virtual harus disikapi Indonesia dengan hati-hati dan bijaksana.

“Bahwa yang terpenting adalah bagaimana kita mendapat keuntungan ataupun kerugian, winner or looser, selalu sekali lagi tergantung dari sikap, kebijakan dan kemauan politik dari pemerintah yang berkuasa di suatu negara.”

Sumber: Postulat

Advertisement

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *