Politik
Wakil Rakyat Harus Aktif Dorong Proses Perbaikan Tata Kelola Candi Borobudur
MAGELANG (26 Oktober): Pelibatan masyarakat dan para legislator sangat penting dalam proses perbaikan tata kelola yang mampu menyeimbangkan kepentingan konservasi, pariwisata, dan kesejahteraan masyarakat di sekitar Candi Borobudur.
“Di tingkat pusat DPR RI, DPRD Provinsi Jawa Tengah dan DPRD Kabupaten Magelang ada lebih dari 60 wakil rakyat yang harus terlibat aktif dalam upaya mengatasi masalah pengelolaan Candi Borobudur,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, saat berbicara secara daring pada 8th International Expert on Borobudur bertema Pelestarian Candi Borobudur Nilai Sosio-Spiritual dan Kesejahteraan Masyarakat di Magelang, Jawa Tengah, Rabu (26/10).
Menurut Lestari, sebagai bagian dari masyarakat di sekitar Borobudur, para wakil rakyat harus mengambil peran pada pengambilan kebijakan dalam proses pelestarian, pengelolaan dan pengembangan.
Setidaknya, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, para wakil rakyat mampu menjembatani kepentingan masyarakat dengan mengedukasi dalam proses pelestarian, termasuk rencana pengembangan kawasan Candi Borobudur ke depan.
Sebagai Wakil Ketua MPR RI Koordinator Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah, Rerie menilai, dalam masalah pengelolaan Borobudur terjadi gap yang cukup lebar antara kepentingan pelestarian yang tidak sejalan dengan persepsi masyarakat sehingga berujung pada masalah ekonomi yang menimpa warga di sekitar Candi Borobudur.
Keterlibatan aktif wakil rakyat dalam mencari solusi untuk mengatasi permasalahan di Borobudur, menurut Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu, sangat penting. Pasaalnya, permasalahan pengelolaan candi yang sudah diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO itu tidak semata masalah ekonomi dan sosial, tetapi juga masalah kepemilikan lahan di kawasan Taman Wisata Borobudur.
Selain itu, anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu menilai, berdasarkan hasil penyerapan aspirasi masyarakat sekitar Borobudur telah terjadi pergeseran budaya agraris yang telah ditekuni sejak masa lalu ke arah pembentukan masyarakat pariwisata untuk mendukung Candi Borobudur sebagai salah satu tujuan wisata super prioritas.
Akibatnya, ujar Rerie, secara perlahan masyarakat di sekitar Candi Borobudur pun tidak memiliki kemampuan menjadi masyarakat agraris. Di sisi lain, tambahnya, setelah menjadi masyarakat industri, warga sekitar Borobudur tidak mampu bertahan saat menghadapi pandemi.
Melihat kenyataan itu, Rerie mendorong agar dalam upaya perbaikan pengelolaan kawasan Borobudur, kearifan lokal harus dipertahankan, pelestarian budaya dilakukan secara konsisten dengan melibatkan masyarakat.
Selain itu, tegas Rerie, terkait tata kelola kawasan Borobudur yang melibatkan banyak lembaga dan instansi, para pemangku kepentingan harus mampu menyusun mekanisme kerja yang terintegrasi agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan.
Ia juga menyarankan dalam perencanaan dan perbaikan pengelolaan Candi Borobudur melibatkan generasi muda.
Bukan semata untuk kepentingan promosi, imbuhnya, lebih dari itu sebagai bagian dari upaya agar generasi penerus bangsa dapat memahami akar masalah yang dihadapi, sehingga pengembangan kawasan Candi Borobudur dapat dilakukan secara benar dan berkelanjutan. (*)