Daerah
Hinca Pandjaitan: Remisi Pembunuh Jurnalis Adalah Kemunduran Kebebasan Pers Di Indonesia
Asahan – Melalui Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2018 memberikan remisi perubahan hukuman kepada terdakwa pembunuhan jurnalis Radar Bali yang divonis seumur hidup menjadi 20 tahun penjara. Kebijakan tersebut dianggap mencoreng kebebasan pers yang dibangun di Indonesia sejak reformasi.
Kasus pembunuhan tersebut, bermula dari tulisan Prabangsa wartawan Radar Bali yanh menulis tentang proyek pembangunan di Bangli, Bali. Sebagai salah seorang pimpinan proyek tersebut terpidana I Nyoman Susrama merasa gusar dan menrencanakan pembunuhan terhadap Prabangsa beserta enam orang lainnya. Pada 15 Februari 2010, Pengadilan Negeri Denpasar mengetok vonis untuk Susrama. Ketua majelis hakim Djumain menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Susrama.
Merespon hal tersebut, Tokoh Nasional dari Asahan, Hinca Pandjaitan mengangap remisi tersebut sebagai langkah mundur kebebasan pers di Indonesia. Jurnalis itu sebagai produsen informasi, jemari mereka akan melambat untuk tulis kebenaran hakiki, suara mereka akan tertelan sendiri atas ketakukan mereka jika berujung kematian. Sebab kematian mereka tidak dihargai, lihat saja hari ini pembunuh jurnalis di berikan remisi.
Data terakhir dari The Comitte To Protect Journalist (CPJ) tahun 2018, tercatat 43 jurnalis gugur dalam tugas mereka dan 27 diantaranya dibunuh. Kasus terakhir pembunuhan jurnalis Washington Pos, Jamal Khasoggi. Di Indonesia berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tidak terungkap hingga tuntas di Indonesia. Kasus pembunuhan Prabangsa merupakan kasus pertama yang terungkap.
“Pemberian remisi bagi pembunuh jurnalis adalah jalan mundur penegakan kemerdekaan pers di Indonesia. Kebijakan tersebut adalah kekeliruan bagaimana mungkin Presiden Jokowi menandatangani Keppres tersebut apabila melihat duka yang mendalam tidak hanya bagi keluarga korban saja melainkan seluruh jurnalis di Indonesia saat ini. Alasan kebijakan tersebut terpidana berlaku baik, tanpa mengurangi hak tersebut, terlalu mahal harga yang harus dibayarkan untuk sebuah transparansi publik yang harus diganti nyawa Prabangsa,” jelas Hinca Pandjaitan melalui keterangan tertulis di Asahan, Sabtu (2/2/2019).
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat tersebut menambahkan saat ini suara para jurnalis kembali menyeruak menuntut pencabutan remisi tersebut. Ruang publik harus terus melakukan tuntutan yang masih, sembari melakukan prosedur hukum atas ketidakpuasan Keppres tersebut. “Saya menyarankan dua cara, pertama, Presiden mengeluarkan Keppres pencabutan mengingat asas Hukum Tata Negara mengingat asas Contrarius Actus, pencabutan keputusan harus dengan keputusan setingkat. Kedua, melalui gugatan ke PTUN. Apapun jalan yang diambil yang terpenting kebebasan pers harus dilindungi tanpa terkecuali,” pungkas Hinca yang kembali maju di dapil Sumut III menuju kursi DPR RI tersebut.